Home
/
Digilife

Petuah SAFEnet Untuk Kominfo Soal Dewan Medsos: Harus Independen!

 Petuah SAFEnet Untuk Kominfo Soal Dewan Medsos: Harus Independen!

Vina Insyani01 June 2024
Bagikan :

Uzone.id – Wacana kehadiran Dewan Media Sosial di Indonesia menjadi polemik baru saat ini. Usulan dari UNESCO tersebut sudah masuk dalam list pertimbangan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Dalam keterangan yang dibagikan pada Selasa, (28/05) lalu, Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi menyatakan bahwa saat ini pihaknya sedang bersiap-siap untuk membentuk dewan media sosial (DMS). 

Tujuannya? Untuk menyelesaikan ‘sengketa’ yang ada di platform media sosial, nantinya DMS ini punya fungsi yang mirip dengan dewan pers. 

Menanggapi hal ini, organisasi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyampaikan beberapa kritik mereka dan juga permintaan pada Kemenkominfo terkait DMS ini.

Dalam keterangan tertulisnya, SAFEnet menilai bahwa pembahasan seputar DMS harus dilakukan secara berhati-hati dan mempertimbangkan hal-hal yang sedang berkembang saat ini.

Oleh karena itu, mereka memberikan 2 poin penting bagi Kemenkominfo sebelum resmi membentuk DMS.

Pertama, Kominfo diminta untuk meninjau ulang rencana pembentukan dewan media sosial yang berkedudukan di bawah badan eksekutif;

Kedua, melibatkan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang hak asasi manusia dalam proses perencanaan dewan media sosial.

Selain memberikan dua usulan utama, SAFEnet juga ‘menyenggol’ beberapa poin penting yang menjadi pro dan kontra dalam pembentukan DMS.

SAFEnet sendiri mengklaim bahwa pihaknya sudah mengusulkan soal DMS ini semenjak tahun lalu, tepatnya saat revisi kedua UU ITE sedang dalam proses pembahasan. Dengan munculnya kembali gagasan pembentukan DMS apalagi setelah revisi UU ITE saat ini menjadikan DMS ini seperti kehilangan konteks.

“Ketika itu, SAFEnet mengusulkan DMS sebagai lembaga independen baru yang berisi berbagai pemangku kepentingan dan berfungsi menggantikan peran Kominfo dalam melakukan moderasi konten. Sebab, selama ini wewenang Kominfo sebagai representasi pemerintah sangat besar dalam memoderasi konten,” ujarnya.

Secara spesifik, SAFEnet mengusulkan pembentukan lembaga ini untuk masuk dalam substansi revisi kedua UU ITE, yaitu di pasal 40 ayat 2(c) yang meminta kewenangan pemerintah terhadap PSE untuk moderasi konten terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang masuk dalam kategori konten berbahaya dilakukan atas dasar rekomendasi Dewan Media Sosial.

Akan tetapi, SAFEnet menyayangkan ketidakhadiran pasal tersebut bahkan setelah revisi kedua UU ITE disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 2024. Justru yang saat ini terjadi adalah kewenangan moderasi konten sepenuhnya berada di tangan Kominfo sebagai representasi negara.

Organisasi yang berfokus pada hak-hak digital ini juga menyenggol soal prinsip pembentukan DMS. Mereka menegaskan DMS harus bersifat independen dan terbebas dari pengaruh pemerintah maupun perusahaan media sosial. 

Menurutnya, pembentukan DMS seperti yang dirancang oleh Kominfo saat ini masih sangat kabur dan justru berpotensi berseberangan dengan prinsip awalnya.

Sementara itu, kontrol Kominfo atas DMS akan menimbulkan penyensoran dan memperparah kerusakan demokrasi dan kebebasan sipil di ruang digital. Ditakutkan, DMS ini nantinya membatasi freedom of speech masyarakat di ranah online.

“Di bawah Kominfo, terdapat potensi konflik kepentingan yang sangat besar, sehingga DMS dapat dimanfaatkan sebagai alat represi digital yang baru. Hal ini justru akan melemahkan posisi masyarakat sipil dan membawa kemunduran bagi demokrasi digital,” tambahnya.

Oleh karena itu, SAFEnet menyarankan DMS harus diisi dengan perwakilan berbagai pihak, seperti akademisi, pembuat konten, masyarakat sipil, pekerja kreatif, jurnalis, kelompok rentan dan minoritas serta berbagai pihak lainnya. 

Salah satu poin penting yang ditegaskan oleh SAFEnet adalah DMS tidak boleh melakukan pengawasan. 

“Hal yang paling mengkhawatirkan adalah Kominfo memaknai DMS sebagai pengawas konten-konten di media sosial,” kata SAFEnet.

Praktik surveillance (pengawasan) ini dianggap tidak dapat dibenarkan karena dapat memicu swa-sensor oleh perusahaan maupun pengguna media sosial. 

Oleh karena itu, tugas utama DMS hanya boleh memutuskan sengketa antara pengguna dengan perusahaan media sosial atas kerugian-kerugian yang dialaminya.

SAFEnet meminta DMS hanya boleh menilai dan mengawasi aduan terhadap praktik moderasi konten yang dilakukan oleh perusahaan media sosial, bukan melakukan pemantauan dan pengawasan aktif. 

Pembatasan atau takedown konten juga hanya bisa dilakukan setelah melakukan three part-test dengan mempertimbangkan prinsip legalitas, necesitas dan proporsionalitas, serta memiliki tujuan yang jelas.

“Semua penilaian ini harus dilakukan dengan menggunakan standar-standar HAM internasional dan memperhatikan konteks lokal sebagai tolok ukurnya,” tutur SAFEnet.

populerRelated Article