Harga Pertamax Rp14.500 Ribu Bikin Masyarakat Beralih ke Pertalite
SPBU Pertamina (Foto: Tomi Tresnady / Uzone.id)
Uzone.id - Setelah masyarakat Indonesia sempat kena prank kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 31 Agustus 2022 karena ternyata harga bensin subsidi (Pertalite), solar bersubsidi (Biosolar) dan Pertamax tidak mengalami kenaikan pada 1 September.
Namun, selanjutnya masyarakat mendapat kejutan tak terduga setelah tiba-tiba Presiden Joko Widodo didampingi oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sosial Tri Rismaharini, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengumumkan kenaikan harga BBM pada 3 September pada pukul 13.30 WIB melalui siaran online.“Hari ini, tanggal 3 September tahun 2022, pukul 13.30 WIB, pemerintah memutuskan untuk menyesuaikan harga BBM subsidi,” ujar Arifin.
Pertalite yang sebelumnya Rp7.650 per liter naik jadi Rp10.000 per liter, solar bersubsidi yang sebelumnya Rp5.150 per liter naik menjadi Rp6.800 per liter, Pertamax yang awalnya Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500.
Penyesuaian harga BBM ini berlaku mulai tanggal 3 September 2022 pukul 14.30 WIB.
BACA JUGA: Instruksi Jokowi Jadikan BPJS Masuk Syarat Urus SIM dan STNK
Masyarakat belum siap hadapi kenaikan BBM
Mengenai kenaikan harga BBM, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira, memberikan pernyataan bahwa kenaikan harga BBM subsidi dilakukan di waktu yang tidak tepat, terutama jenis Pertalite.
Menurut Bhima, Masyarakat jelas belum siap menghadapi kenaikan harga Pertalite menjadi 10.000 per liter. Dampaknya Indonesia bisa terancam stagflasi, yakni naiknya inflasi yang signifikan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja.
"BBM bukan sekedar harga energi dan spesifik biaya transportasi kendaraan pribadi yang naik, tapi juga ke hampir semua sektor terdampak. Misalnya harga pengiriman bahan pangan akan naik disaat yang bersamaan pelaku sektor pertanian mengeluh biaya input produksi yang mahal, terutama pupuk," tutur Bhima saat dihubungi Uzone.id.
Bhima lalu mengingatkan soal inflasi bahan makanan masih tercatat tinggi pada bulan Agustus yakni 8,55 persen (year on year), bakal makin tinggi.
Diperkirakan inflasi pangan kembali menyentuh dobel digit atau diatas 10 persen per tahun pada September ini. Sementara, inflasi umum diperkirakan menembus di level 7-7,5 persen hingga akhir tahun dan memicu kenaikan suku bunga secara agresif.
"Konsumen ibaratnya akan jatuh tertimpa tangga berkali kali, belum sembuh pendapatan dari pandemi, kini sudah dihadapkan pada naiknya biaya hidup dan suku bunga pinjaman," kata Bhima.
Dampak terhadap pemilik kendaraan
Selain itu, Bhima juga mengingatkan juga soal masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi dan tidak memiliki kendaraan sekalipun akan mengurangi konsumsi barang lainnya.
"Karena BBM ini kebutuhan mendasar, ketika harganya naik maka pengusaha di sektor industri pakaian jadi, makanan minuman, hingga logistik semuanya akan terdampak. Pelaku usaha dengan permintaan yang baru dalam fase pemulihan, tentu risiko ambil jalan pintas dengan lakukan PHK massal. Sekarang realistis saja, biaya produksi naik, biaya operasional naik, permintaan turun ya harus potong biaya biaya. Ekspansi sektor usaha bisa macet, nanti efeknya ke PMI manufaktur kontraksi kembali dibawah 50," beber dia.
BACA JUGA: Daftar Harga BBM Terbaru, Petamax Masih Lebih Murah Dari Shell Super
Pengguna Pertamax bergeser ke Pertalite
Kemudian, Bhima mengungkapkan soal bantuan sosial atau bansos yang akan diberikan kepada pemerintah yang hanya melindungi orang miskin dalam waktu 4 bulan, tidak akan cukup dalam mengkompensasi efek kenaikan harga BBM.
"Misalnya ada kelas menengah rentan, sebelum kenaikan harga Pertalite masih sanggup membeli di harga 7.650 per liter, sekarang harga Rp10.000 per liter mereka turun kelas jadi orang miskin. Data orang rentan miskin ini sangat mungkin tidak tercover dalam BLT BBM karena adanya penambahan orang miskin paska kebijakan BBM subsidi naik. Pemerintah perlu mempersiapkan efek berantai naiknya jumlah orang miskin baru dalam waktu dekat," ujar dia.
Selain itu, menurut Bhima, alih-alih pembatasan dengan menyasar pengguna solar misalnya yang selama ini dinikmati industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar tapi cara pemerintah justru mengambil langkah naikkan harga BBM subsidi. Kenaikan harga merupakan mekanisme yang paling tidak kreatif.
"Tujuan utama untuk membatasi konsumsi Pertalite subsidi juga tidak akan tercapai, ketika disaat bersamaan harga Pertamax ikut naik menjadi 14.500 per liter. Akibatnya pengguna Pertamax akan tetap bergeser ke Pertalite," ungkapnya.
Bisa belajar dari Spanyol
Bhima mengatakan, seharusnya turunkan tarif jadi PPN 0 persen pada BBM jenis Pertalite, turunkan tarif PPN umum dari 11 persen menjadi 8 persen.
Selain itu, kata dia, berikan diskon tarif transportasi publik rata rata 40-50 persen sehingga masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik.
"Di Spanyol ada fasilitas tiket kereta gratis untuk ringankan biaya transportasi. Jaga stabilitas harga di sektor pangan, dan tambah bantuan sosial secara substansial untuk mengcover efek terhadap 64 juta pelaku usaha UMKM, pekerja disektor informal yang belum masuk BSU, hingga rumah tangga kelas menengah rentan yang tidak termasuk dalam cakupan BLT," tutup Bhima.