Home
/
Lifestyle

Ingat Mati Saat Mabuk, Anak Punk Ini Pilih Bertaubat

Ingat Mati Saat Mabuk, Anak Punk Ini Pilih Bertaubat

Agung Sandy Lesmana21 January 2019
Bagikan :

Meski tampak tato kecil di leher bagian kiri, Tri Marzuki sangat khusyuk membacar Iqra dalam acara mengaji yang digelar Komunitas Sinau Ngaji Dinten Rebo Malam (Sindrom) setiap Rabu malam di Masjid Nur Hidayah, Sragen Tengah, Jawa Tengah. Tri sama dengan yang lain. Dia adalah anak punk yang memilih bertobat karena takut mati.

Iqra yang dibaca Tri masih jilid I. Ketika ada bacaan huruf hijaiah yang kurang pas, ia mengulang-ulang dan sambil tertawa sendiri. Hal itu pun membikin remaja lainnya ikut tertawa.

Tri jadi anak punk sejak masih duduk di kelas VIII SMP. Setelah lulus SMP, aktivitas ngepunk Tri semakin menjadi. Ia pernah tidak pulang sepekan saat pergi ke Bandung.

Bagi Tri, punk merupakan gaya hidup dengan solidaritas yang kuat. Telinga kirinya dilubangi, bahkan lubang telinganya sampai sebesar tutup botol minuman berenergi. Tri juga kecanduan tato. Awalnya, hanya tato kaki kiri kemudian merembet ke kedua kaki, tangan, dan sebagian badannya.

"Sekarang telinganya saya jahit. Kalau tatonya masih. Dulu juga mabuk-mabukan. Saya itu tersadar dan taubat setelah ingat mati," kata Tri seperti diwartakan Solopos.com--jaringan Suara.com, Rabu, pekan lalu.

Tri mengaku sempat ketakutan saat dalam kondisi mabuk. Dari ketakutan itu, dia pun lalu memilih bergabung dengan Komunitas Sindrom agar lebih banyak mendapatkan ilmu-ilmu agama.

"Dalam kondisi mabuk itulah, saya bisa menangis. Bahkan sampai pulang pun masih menangis karena tiba-tiba ingat mati dan takut mati dalam kondisi mabuk. Bayangan mati itu terus membayangi hingga akhirnya saya menghubungi Mas Linggar,” kisah Tri

Linggar mengajak Tri masuk ke Komunitas Sindrom belum lama ini. Sejak masuk di Komunitas Sindrom, Tri merasa nyaman dan akhirnya betah mengaji di komunitas itu.

Linggar pun baru enam bulan bergabung di komunitas yang dibentuk jebolan anak punk asal Gabugan, Tanon, Sragen, Anggar Triyono atau Anggar Melodi pada pertengahan Mei 2018 lalu.

Linggar juga seperti Tri. Linggar dan Tri sama-sama aktif di komunitas vespa kemudian jadi anak punk. Kedua kaki Linggar juga penuh tato. Demikian pula kedua tangannya. Linggar mengaku pernah ikut terlibat dalam peredaran pil koplo, mabuk-mabukan, dan lainnya. Namun semua itu dia tinggalkan setelah bertaubat.

"Saya tersadar saat sendirian dan berpikir hidup ini mau ke mana. Saat bergabung dengan kelompok Mas Anggar Melodi, beliau selalu bercerita tentang kebesaran Allah dan mati. Sejak itulah, saya tergiring masuk di Komunitas Sindrom ini," ujarnya sebelum mengaji Iqra jilid I.

Linggar dan Tri kini bekerja sebagai karyawan pabrik tekstil di dekat rumah mereka. Kedua pemuda itu kini tak lagi menjadi anak punk kendati ciri khas tato mereka masih melekat.

Tak Perlu Hapus Tato

Tato yang dimiliki anggota jemaah Komunitas Sindrom itu justru dimanfaatkan sebagai sarana dakwah kepada anak-anak punk yang belum sadar.

"Tato itu jadi nilai tambah ketika masuk dan berdakwah mengajak teman-teman punk yang juga bertato. Jadi tidak perlu dihapus,” kata pendiri Komunitas Sindrom Sragen, Anggar Melodi.

Kedua tangan Anggar pun masih dihiasi tato. Bahkan salah satu telinganya masih berlubang bekas tindikan. Namun, Anggar kini tampil seperti ustaz dengan jenggotnya.

Anggar keluar dari komunitas punk sejak 2016. Ia kemudian mencari teman untuk belajar mengaji. Akhirnya ia menemukan tiga orang teman yang juga jebolan punk.

Dari mengaji bareng empat orang itulah kemudian Komunitas Sindrom itu terbentuk. Anggota yang terdaftar di komunitas mencapai 82 orang dan 50% di antaranya mantan anak punk. Semuanya anak muda.

Mantan anak punk itu kini banyak yang bekerja mandiri, selain jadi buruh pabrik, ada juga yang jualan nasi goreng, buka warung kopi, ternak ayam, dan distro. "Dulu pernah yang datang itu mencapai 130 orang,” ujar Anggar yang membuka distro muslim di belakang kompleks Gedung Pemda Sragen.

Ciri khas punk lainnya berupa musik dan akustik juga dimanfaatkan untuk sarana dakwah kepada anak-anak muda. Anggar berniat membuat komunitas-komunitas kajian di desa-desa, seperti di Taraman.

“Saya ingin Sindrom ini menjadi gaya hidup dan bikin ketagihan. Bukan lagi ketagihan minuman keras, pil, atau tato tetapi ketagihan untuk mengaji agama Allah,” ujarnya.

Sumber: Solopos.com

 

Berita Terkait:

populerRelated Article