Ini Kata Ketua KPI Pusat soal Media Sosial Diatur KPI
-
Uzone.id – Dengan pemanfaatan teknologi sedemikian rupa telah membawa kita ke sebuah era baru penuh digitalisasi, termasuk juga digitalisasi media. Terdapat pembagian antara media sosial serta media baru. Dalam media sosial, semua pengguna dapat saling berinteraksi lain secara langsung.
Media baru ini meliputi “media yang dimiliki oleh perusahaan atau korporasi dimana setiap orang tidak dapat berpartisipasi di dalamnya (atau memiliki akun) secara langsung”, menurut definisi dari Ketua KPI Pusat, Agung Suprio (periode 2019-2022) lewat program Uzone Talks bertajuk "Tanya KPI: Perlu Gak Sih Media Baru Diatur Negara" pada Kamis (8/4/2021).Agung pun memiliki harapan agar media baru itu dapat bisa dipakai sebagai alat untuk mendorong kebangkitan ekonomi.
Ia mencontohkan negara Eropa yang menerapkan regulasi dimana 30 persen katalog platform penyedia Video on Demand harus merupakan tontonan produksi asli negara Eropa. Apabila hal ini dapat diterapkan di Indonesia, regulasi ini dapat menjadi salah satu strategi agar kebudayaan Indonesia semakin eksis.
Baca juga: Beda Media Sosial dan Media Baru Menurut KPI
Adanya omongan mengenai dimana media baru harus diawasi dan diatur negara bukan bermaksud membatasi kreatifitas para content creator yang sedang bertumbuh dengan pesat di Indonesia, tetapi agar para pembuat konten dan penonton mendapatkan lebih banyak manfaat positifnya.
KPI bergerak dengan pedoman UU nomor 32 tahun 2002 yang hanya membatasi ruang pengawasan KPI pada televisi dan radio. Lantas, mengapa KPI ingin turut berpartisipasi mengawasi media baru walau sudah ada UU ITE yang diawasi Kemkominfo?
“KPI memiliki Pedoman Perilaku Penyiaran Standar Program Siaran (P3SPS). P3SPS ini seperti rambu lalu lintas bagi iklan dan tayangan. Yang kena sanksi adalah lembaga penyiarannya. Kalau UU ITE yang dipanggil adalah pembuat kontennya. Australia pun memiliki undang-undang penyiaran yang serupa dengan hukuman denda dan pidana” jelas Agung.
Apabila KPI memang akan dilibatkan dalam pengawasan media baru nantinya, bukan berarti KPI akan membatasi konten yang beredar dan tentu pengaturannya tidak seketat di televisi karena setiap orang dapat mengakses konten media baru kapan saja.
BACA JUGA: Penjelasan Facebook Soal Data 530 Juta Pengguna Bocor
Agung juga menjelaskan bahwa negosiasi mengenai regulasi antara pemerintah dengan perusahaan pemilik platform tersila dari ketergantungan masyarakat. Semakin banyak masyarakat yang menggunakan sebuah platform, maka tentu perusahaan pemilik platform tersebut tidak ingin dikenakan regulasi yang terlalu mengatur kebebasannya.
“Jangan sampai regulasi yang dibuat terlalu ketinggalan jaman dan DPR kurang lebih memiliki semangat sama seperti yang tadi saya sampaikan, Buat undang-undang yang mampu mengakomodasi berbagai perubahan teknologi di masa depan” tutup Agung.