Jika Ada UU Baru untuk Media Sosial, Bakal Diawasi KPI?
-
(Foto: dok. Unsplash)
Uzone.id -- Gugatan RCTI dan iNews TV yang berasal dari MNC Group terkait Undang-Undang Penyiaran ini selain membuat gaduh linimasa media sosial, turut membuka kembali diskusi mengenai regulasi yang akan mengatur ranah digital, termasuk soal pengawasannya.Dari gugatan RCTI tersebut, pihak mereka menyebut pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 Ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sifatnya ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Pemohon meminta agar penyedia layanan siaran melalui internet turut diatur di dalam pasal tersebut.
Heru Sutadi selaku Executive Director Indonesia ICT Institute mengatakan bahwa tampaknya akan sulit bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan gugatan dari RCTI tersebut. Menurutnya, UU Penyiaran yang mengatur siaran televisi sudah terlalu lawas sehingga perlu UU baru yang mengatur ranah digital seperti YouTube, Instagram, Twitch, dan lainnya.
“Untuk mengatur di luar penyiaran seperti konsep yang broadcasting dan analog, apakah itu OTT [over-the-top] atau TV digital diperlukan aturan baru berupa UU Revisi atau UU yang sama sekali baru,” ungkap Heru saat dihubungi Uzone.id pada Jumat (28/8).
Jika menggunakan skenario UU baru untuk ranah digital, maka hal ini turut menyinggung soal pengawasan layaknya siaran TV dan radio yang diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Baca juga: Soal Gugatan RCTI 'Ancam' Live Medsos, Pengamat: Sulit untuk Dikabulkan
“Kalau definisi diubah, maka klasifikasi lembaga penyiaran juga harus diubah. Kemudian termasuk tugas KPI juga harus diubah, dan itu bisa banyak sekali yang harus diubah,” lanjut Heru.
Lantas, jika membayangkan nantinya seperti apa, apakah kira-kira KPI masih menjadi lembaga yang pantas untuk mengatur ranah digital?
“Kalau dimasukkan dalam RUU Penyiaran baru ya akan jadi ranah KPI. Tapi harusnya ada sinergi antara KPI, BRTI, dan LSF,” tutup Heru.
Terkait gugatan RCTI dan iNews TV, ada tanggapan lain dari aktivis media sosial Enda Nasution. Baginya, peran media sosial justru menjadi wadah untuk konten-konten yang sekiranya tidak punya ruang di ranah penyiaran broadcast seperti televisi.
“Sekarang ini saya melihatnya, hal-hal yang disiarkan itu gak hanya tentang informasi dan berita, ada juga soal budaya. Konten di TV tentu beragam, dan apapun yang tidak hadir di TV besar kemungkinan memang tidak ada ruangnya, tapi bukan berarti tidak ada yang suka,” ungkap Enda saat dihubungi Uzone.id pada Jumat (28/8).
Baca juga: Opini: Television Kills the Video Stars
Dia melanjutkan, “nah, konten-konten yang tidak ada di TV itu maka larinya ke ruang digital, layanan yang disediakan media sosial oleh para netizen dan kreator konten itu sendiri.”
Menurut Enda, jika konten di ranah digital dipaksa harus masuk juga di ranah UU Penyiaran yang notabene sudah jelas berbeda, hal ini dapat mengganggu kebebasan berekspresi.
“Kalau pertimbangannya harus sama semua, harus punya izin segala macam, hal ini tampaknya bisa melanggar hak kebebasan berekspresi yang berada di ranah digital. Bagaimana bisa, masa apa-apa harus lapor dulu jika ingin memposting atau mengadakan obrolan live?” kata Enda.
Gugatan RCTI ini menjadi pembahasan publik sejak Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli mengatakan dampaknya, yakni kegiatan di dalam media sosial, seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, YouTube Live, dikategorikan sebagai penyiaran, maka perorangan, badan usaha, atau badan hukum akan dipaksa memiliki izin menjadi Lembaga penyiaran.