Komdigi Blak-blakan Soal Pilih Lelang Frekuensi 1,4 GHz Duluan dari 700 MHz

Uzone.id – Sejak “Kominfo” berubah wajah menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital alias Komdigi, gejolak industri telekomunikasi baru mulai memanas awal tahun ini karena muncul wacana lelang frekuensi 1,4 GHz. Sebenarnya apa urgensi Komdigi untuk memilih frekuensi 1,4 GHz ketimbang 700 MHz yang sudah lebih dulu digembar-gemborkan?
dan Standardisasi Infrastruktur Digital, Direktorat Jenderal Infrastruktur Digital Kementerian Komdigi mengatakan bahwa sebenarnya frekuensi 1,4 GHz ini sudah lama digadang-gadang oleh International Telecommuncation Union (ITU) sejak 2015.
“Frekuensi 1,4 GHz belum dipakai di Indonesia, persiapannya sudah sejak 2015 dan disorot ITU untuk mengembangkan fixed broadband. Kecepatan internet kita ‘kan masih rendah banget ya, kalau dibandingkan di negara lain seperti Vietnam, semua sekolah sudah pakai fixed broadband dengan minimal kecepatan download 20 Mb/s. Indonesia belum, nah kita mau kejar di aspek-aspek meaningful seperti itu,” ungkap Adis di Selular Business Forum yang digelar hari ini, Senin (10/2).
“Jadi di Juni 2024 kami sudah sempat mengumumkan kalau Juli ada rencana lelang 700 MHz. Namun, dari pemain industri meminta untuk ditunda dulu. Ya jangan sampai kita mengeluarkan ini tapi insentifnya belum jelas. Jadi sejak itu, kami bersama operator terus berdiskusi soal insentif,” kata Adis lagi.
Ia melanjutkan, “insentif ini ada dua jenis, yaitu terhadap BHP yang sedang berjalan dan BHP terhadap pita baru. Insentif ini masih belum ada keputusannya karena harus ada peran pemerintah juga. Di kondisi seperti sekarang, hal-hal yang terkait keuangan negara harus prudent.”
Mau benahi pemerataan Fixed Broadband (FBB)
Frekuensi 1,4 GHz memang menyasar jaringan FBB di Indonesia karena penetrasinya masih rendah, yakni 21,31 persen rumah tangga. Dari penuturan Adis, di Indonesia setidaknya ada 75 juta rumah yang sudah memiliki listrik, di mana 38 jutanya sudah homepass.
“Dari angka itu, cuma 14 juta rumah yang sudah berlangganan layanan FBB. Dari angka ini kita bisa lihat, ada usage gap yang cukup besar. Kita ingin mengatasi ini. Dari data Ookla pada Desember kmarin juga kecepatan download FBB juga masih di 32,07 Mbps,” terang Adis.
Dari data Hub ITU pada 2024, tren pertumbuhan pelanggan layanan FBB relatif stagnan sejak 2021, dengan laju pertumbuhan kurang dari 10 persen.
Saat ini ada beberapa hal yang masih menjadi PR besar untuk pemerataan FBB di Indonesia. Dari penjelasan Adis, harga layanan FBB masih relatif tinggi. Contoh, kecepatan internet mencapai 100 Mbps harga langganannya bisa di kisaran Rp400 ribu sampai Rp500 ribu per bulan.
“Lalu, kita masih ada tantangan penggelaran layanan FBB khususnya berbasis fiber optic, berupa biaya yang tinggi akibat kondisi geografis, keterbatasan pasokan listrik di beberapa wilayah, waktu pengurusan izin yang cukup lama untuk Right of Way (RoW), isu persaingan usaha, dan lainnya,” kata Adis.
Sebagai solusi agar memanfaatkan 1,4 GHz berbiaya rendah, Komdigi meyakini menerapkan Broadband Wireless Access (BWA). BWA sendiri adalah akses komunikasi data menggunakan spektrum frekuensi radio dengan implementasi sistem International Mobile Telecommunications (IMT).
Secara singkat, BWA hadir dengan lebih cepat, mudah, dan biaya relatif rendah dibandingkan fiber optic.
“BWA ini kami percaya dapat menjadi akselerasi peningkatan layanan FBB di Indonesia, sekaligus pelengkap dari layanan FBB yang berbasis fiber optik, dengan harga yang terjangkau,” tutup Adis.
