Home
/
Travel

Musim Semi Merah di Gunung Fuji

Musim Semi Merah di Gunung Fuji

TEMPO.CO05 January 2017
Bagikan :

Setelah menunggu hampir delapan bulan lamanya sejak membeli tiket pesawat kelas dunia yang sedang dalam masa promo, akhirnya saya bersama keluarga bisa menginjakkan kaki di Bandara Haneda, Tokyo, Jepang. Kami memilih perjalanan pada musim semi, ketika dedaunan mulai menguning dan memerah. Sungguh menakjubkan.

Selama empat hari pertama perjalanan, kami menginap di kawasan Takadanobaba, Tokyo. Salah satu target perjalanan kami adalah mendaki Gunung Fuji, yang bisa ditempuh dari ibu kota Jepang dengan menumpang kereta. Transportasi umum ini paling diandalkan masyarakat Jepang karena aksesnya yang luas, biayanya relatif murah, dan waktu tempuhnya yang cepat.

Dari tempat kami menginap, hanya butuh waktu 10 menit berjalan kaki menuju Stasiun Takadanobaba, yang mengantarkan kami ke berbagai tempat tujuan, termasuk ke Gunung Fuji, tempat wisata favorit di Negeri Matahari Terbit. Gunung Fuji merupakan gunung yang tertinggi di Jepang, yakni 3.776 meter di atas permukaan laut.

Tiket kereta sudah kami beli dari sebuah agen perjalanan di Indonesia beberapa hari sebelum keberangkatan. Namanya Japan Rail Pass, yang kami beli seharga 29.100 yen atau setara dengan Rp 3,6 juta (kurs 1 yen = Rp 125) untuk tujuh hari di Jepang. Dengan pass tersebut, kami hitung-hitung biaya perjalanan ke berbagai kota di Jepang menjadi lebih murah. 

Dengan menggunakan tiket ini, kami bebas menumpang kereta limited express dan shinkansen (kereta cepat) tanpa perlu membayar lagi. Tiket JR pass sangat bermanfaat, terutama saat perjalanan antar-kota.  

Selanjutnya: Menikmati kereta yang sunyi

Kami meninggalkan penginapan pada pukul 7 pagi menuju Stasiun Takadanobaba. Jarak perjalanan cukup jauh, sekitar 141 kilometer. Sebelum menuju Fuji-san—begitu Gunung Fuji biasa disebut—kami mengecek jadwal kereta dengan aplikasi Hyperdia, yang menyediakan informasi jadwal kereta bagi siapa pun yang ingin bepergian di Jepang.

Aplikasi ini kami unduh sebelum berangkat ke Jepang. Hyperdia juga menyediakan rincian lama perjalanan, harga tiket, dan pilihan stasiun transit, semuanya dalam bahasa Inggris. Hyperdia menjadi andalan kami untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di Jepang.

Takadanobaba -  Shinjuku
Titik perhentian pertama kami dari Takadanobaba adalah Stasiun Shinjuku, yang memakan waktu kurang dari 10 menit. Kemudian kami berganti kereta, yang menuju Stasiun Otsuki. Waktu perjalanan cukup lama, sekitar 90 menit untuk menempuh jarak 134 kilometer. Kami menumpang kereta Kaiji Limited Express. Kereta itu sangat nyaman, bersih, terawat, dan mesinnya tidak berisik. Demikian juga dengan toiletnya. Suasana di kereja begitu sunyi.

Kami menikmati pemandangan sepanjang perjalanan melalui jendela kereta. Di Jepang, ada etika ketika berada dalam kereta, yaitu dilarang berbicara keras dan dilarang berbicara menggunakan ponsel. Saya sempat melihat sejumlah orang menjawab panggilan telepon di keluar gerbong penumpang. Mereka berdiri di antara toilet gerbong.

Tiba di Stasiun Otsuki, kami menaiki kereta lokal dengan harga tiket per orang 1.140 yen (Rp 142.500) dengan tujuan Mt Fuji 5thStation. Tiket dapat dibeli menggunakan mesin pembelian tiket. Untuk pembelian kelipatan lima tiket, harganya lebih murah, yaitu 1.010 yen per orang. Walhasil, kami membeli lima tiket pertama ditambah satu tiket.

Kondisi kereta lokal berbeda dengan kereta antar-kota. Mirip commuter line di Jakarta, penumpang duduk berhadap-hadapan pada bangku panjang. Namun lantai kereta terbuat dari kayu. Cat dindingnya diberi warna biru muda yang berpadu dengan warna krem. Suasananya hangat. Penumpang diperbolehkan makan, minum, dan berbicara dalam kereta. Sangat bernuansa pedesaan dan menyenangkan.

Sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan yang indah. Rumah-rumah pedesaan dibangun  tersusun rapi, terlihat kokoh dan bersih, dengan warna bangunan kebanyakan krem atau cokelat.  Pohon-pohon berwarna kuning kemerahan karena masih musim semi. Saat itu, pohon kesemek Jepang sedang berbuah. Buahnya sangat banyak, bahkan sebagian sudah berjatuhan. Saya amati, hampir setiap rumah di pedesaan memiliki pohon kesemek. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit.

Selanjutnya: Menuju Gunung Fuji dan Menikmati eskrim macha
<!--more-->

Kereta berhenti sekitar lima menit di stasiun ketiga sebelum Mt Fuji 5th Station. Beberapa penumpang, termasuk kami, menyempatkan diri turun ke peron untuk berfoto-foto dengan latar belakang Gunung Fuji.



Hari yang cerah. Gunung Fuji terlihat menawan dan membuat kami penasaran untuk segera melihatnya lebih dekat. Saya teringat akan perkataan teman. Kalau beruntung, Gunung Fuji bisa terlihat dari jauh secara utuh. Dan hari itu kebetulan cerah.

Akhirnya, kami tiba di Stasiun Mt Fuji 5th Station. Kami bertanya kepada petugas tiket di stasiun. Sayangnya, ia tidak mengerti bahasa Inggris. Kami pun diantar ke petugas lainnya yang dapat berbahasa Inggris di pusat informasi bagi wisatawan (Tourist Information Center/TIC) untuk menanyakan berbagai hal, termasuk jadwal kepulangan kereta kembali ke Takadanobaba.

Petugas TIC dengan ramah menjelaskan rute menuju Gunung Fuji. Kami harus naik bus lagi untuk menikmati Gunung Fuji. Kami pun diberi enam kartu pos yang bertulisan “Welcome to Fujiyoshida City”, dan di kartu itu ada juga ucapan dalam bahasa Indonesia: “Selamat Datang”.  Kartu itu bergambar Gunung Fuji, yang puncaknya sebagian ditutupi salju.  Tampak Arakutayama Sengen Park, Fujiyoshida City, dengan bunga sakura yang mekar di samping kuil. Cantik!

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Kami pun bergegas menuju loket bus yang lokasinya bersebelahan dengan lokasi TIC. Harga tiket pulang-pergi sebesar 2.100 yen per orang (Rp 262.500.

Petugas loket bus hanya dapat berbahasa Jepang, sehingga komunikasi di antara kami hanya menggunakan kalkulator, brosur harga tiket, dan jadwal keberangkatan serta kepulangan. Petugasnya ramah, dan kami diberi penjelasan soal jadwal dan rute kepulangan kereta yang lebih cepat.

Bus berangkat pukul 13.00. Sambil menunggu keberangkatan, kami memutuskan untuk berjalan-jalan dulu di sekitar stasiun. Kami masuk sebuah toko swalayan yang menjual berbagai pakaian, kosmetik, makanan, dan suvenir khas Jepang. 

Perjalanan naik bus memakan waktu sekitar 1 jam menuju ketinggian 2.304 meter, atau yang disebut 5th Step. Kondisi bus sangat nyaman.  Sepanjang perjalanan, pengemudi menyampaikan berbagai informasi kepada para penumpangnya. Namun sayang, semua percakapan berlangsung dalam bahasa Jepang. Bus penuh, bahkan ada turis yang berdiri.

Dalam perjalanan menuju puncak Gunung Fuji, kami menyaksikan lembah dan danau di kejauhan. Di satu titik, bus pun berhenti supaya kami dapat memandangi ketinggian dari dalam bus. 

Tapi keindahan pemandangan sepanjang perjalanan menuju puncak Gunung Fuji dirasakan sebaliknya oleh tante saya karena ia mudah mabuk jika naik bus. Wajahnya pucat. Sesampainya di puncak Gunung Fuji, Tante memutuskan untuk tidak ikut berjalan kaki menyusuri kaki Gunung Fuji.  Ronald, sepupu saya, memutuskan untuk menemani ibunya sambil melihat-lihat di toko.

Jadi hanya kami berempat. Saya, Mama, Bapak, dan adik perempuan saya, Martha, berjalan kaki menyusuri hutan di kaki Fuji-san. Suhu saat itu mencapai 4 derajat Celsius. Cukup dingin bagi saya, yang tidak terbiasa dengan temperatur rendah. Walaupun sudah memakai syal, sarung tangan, kupluk, dan jaket kulit, saya masih tetap kedinginan.

Pohon-pohon di dalam hutan berubah menjadi kuning kemerahan karena musim semi. Ada juga pohon cemara, yang daunnya berwarna kuning kehijauan. Pohon lain berdaun seperti janggut atau seperti kapas berwarna hijau muda. Kami berfoto di antara pohon-pohon unik tersebut.

Selanjutnya: misteri Gunung Fuji

Kabarnya, Gunung Fuji juga menyimpan cerita mistis. Banyak orang Jepang yang bunuh diri di sekitar Gunung Fuji. Menyeramkan. Saat kami menyusuri gunung tersebut, kami melihat sekelompok peneliti tengah berkumpul. Entah apa yang dibicarakan, tapi mereka tampak serius.

Setelah puas menikmati pemandangan di dalam hutan, kami memutuskan segera turun, mengingat waktu yang terbatas untuk mengejar jadwal bus pukul 4 sore. Tiba di halte, ternyata sudah banyak sekali orang yang antre. Di depan kami sudah ada antrean berisi sekitar 60 orang. Dan benar saja, saat bus datang, kami tidak dapat masuk. Malah masih ada antrean 10 orang di depan kami. Kami harus menunggu kedatangan bus lainnya satu jam ke depan.

Menunggu terasa menyiksa bagi saya karena cuaca semakin sore semakin dingin. Tapi bagi Ronald, yang agak berlemak tubuhnya, itu tidak menjadi masalah. Ia malah membeli dua cone es krim matcha, teh hijau khas Jepang. Kami saling mencicipi es krim tersebut. Bapak dan ibu saya sangat menikmati es krim matcha.

Satu jam berlalu, bus tiba tepat waktu. Selama di Jepang, kami belum pernah mendapati jadwal transportasi yang meleset. Semuanya tepat waktu. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Kabut sudah mulai turun. 

Tiba di terminal bus, kami segera berjalan menuju Stasiun Mt Fuji 5th dan memesan tiket kepulangan. Petugas tiket sangat membantu kami. Setelah menyerahkan tiket kereta lokal tujuan Stasiun Otsuki seharga 1.020 yen per orang (Rp 127.500),  petugas segera mereservasi tiket JR pass dan kami mendapat nomor tempat duduk di dalam kereta yang berangkat dari Stasiun Otsuki langsung menuju Stasiun Shinjuku.

Perjalanan dari Otsuki ke Shinjuku memakan waktu 1 jam 31 menit. Kami tiba di Stasiun Shinjuku pukul 19.51. Karena masih ada waktu, kami memutuskan untuk mampir sebentar ke Imperial Palace, yang cukup dijangkau dengan berjalan kaki dari Stasiun Tokyo. Kami menikmati suasana di dalam Stasiun Tokyo, yang bangunannya masih model tempo dulu.

Tidak terasa, hari sudah larut malam. Kami sudah lelah dan memutuskan untuk pulang ke Takadanobaba. Untuk dua perjalanan kereta yang terakhir ini, kami tidak mengeluarkan biaya lagi karena menggunakan tiket JR pass.

REBEKKA RENTHA SILABAN -Penikmat Perjalanan

populerRelated Article