Home
/
Digilife

Netflix Dikejar-kejar Pajak, Kalau Hooq Gimana?

Netflix Dikejar-kejar Pajak, Kalau Hooq Gimana?

Hani Nur Fajrina28 January 2020
Bagikan :

(dok. Insider)

Uzone.id -- Sebagai penyedia layanan streaming digital yang beroperasi di Indonesia, Netflix belakangan jadi sorotan pemerintah karena kewajiban membayar pajak sejak dia hadir pada 2016. Bagaimana dengan layanan sejenis, yakni Hooq, yang juga dirilis 4 tahun lalu? 

Netflix dan Hooq namanya memang mentereng di Indonesia, apalagi di kalangan netizen yang sangat melek dengan perkembangan dunia digital. Keduanya sama-sama berasal dari luar Indonesia dan menyediakan layanan streaming konten.

Sejak awal tahun 2020, pemerintah terlihat gencar untuk kembali berupaya agar pajak dari perusahaan OTT (over-the-top) asing seperti Netflix benar-benar masuk ke negara. Pemerintah bahkan berencana mencontek skema pajak dari negara tetangga seperti Singapura untuk memungut pajak dari mereka.

Soal pajak digital tersebut kemudian ditanggapi oleh Hooq.

Baca juga: Ini Tanggapan Hooq Kalau Sampai Konten Digital Diawasi KPI

“Soal pajak, yang penting ada kejelasan dari pemerintah,” ungkap Country Head Hooq Indonesia Guntur Siboro saat ditemui beberapa awak media di Jakarta, Senin (27/1).

Dia kemudian menceritakan singkat bagaimana proses Hooq akhirnya beroperasi di Indonesia pada 2016.

“4 tahun lalu saat mau meluncur di sini, saya tanya ke Pak Menteri [Rudiantara] karena belum ada aturannya. Beliau bilang, kerja sama lah sama operator. Ya sudah, kami menggandeng operator seperti Indosat Ooredoo, karena PPN dan BHP USO mereka yang pungut, yang tak ada tinggal pajak pendapatan,” tutur Guntur.

Dia pun mengklaim, meski belum ada peraturan soal pajak terhadap OTT asing sampai sekarang, Hooq sejak dulu secara tak langsung sudah membayar pajak, meskipun yang dibebankan ke pengguna.

Baca juga: Gak Perlu Buka Kantor, Netflix Harus Begini Biar Bisa Bayar Pajak

“Hooq sudah ikutin pajak jatuhnya, ya. Misal, kita ada paket sebulan Rp69 ribu. Harga aslinya sebenarnya Rp63 ribu, nah Rp6 ribunya itu adalah PPN,” lanjutnya.

Selain itu, Guntur juga mengkritisi pemerintah yang harus lebih jelas lagi soal status BUT (Bentuk Usaha Tetap). Menurutnya, “bentuk” itu tandanya bisa bermacam-macam, tak harus membuat “badan”. Kantor perwakilan menurutnya sudah merupakan bentuk usaha, pun begitu dengan gudang.

“Kita mau dirikan PT dulu, tapi bingung, lisensinya apa? Kategori lisensinya saja belum ada gitu di urusan perpajakan dan di BPKM. Jadi saran saya, kalau mau menggodok pajak digital ini, harus multi-ministry ya, jangan cuma kementerian tertentu saja agar pemahamannya bisa menyeluruh sesuai bidang,” tutup Guntur.

populerRelated Article