Netizen Indonesia ‘kan Pemaaf, Emang Bisa Menganut Cancel Culture?
Ilustrasi platform media sosial. Foto: Unsplash
Uzone.id -- Bagi yang masih asing dengan istilah “cancel culture”, ini bukan budaya sembarangan membatalkan pesanan e-commerce atau abang ojek online ala-ala prank. Ini jauh lebih ‘dalam’ dari sekadar prank.
Sebenarnya cancel culture yang terjadi di ranah media sosial ini mirip seperti aksi boikot. Bedanya, dulu mungkin aksi boikot ini umumnya diterapkan terhadap perusahaan besar, produk massal, brand-brand besar. Kalau cancel culture ini banyak ‘menelan korban’ dari pihak pekerja seni seperti aktor, aktris, musisi, politisi, dan figur publik lain.Cancel culture memang masih mungkin menimpa brand atau perusahaan besar, namun yang membuat budaya ini menarik dari tahun ke tahun adalah ‘targetnya’ memang individu.
“Cancel culture ini semacam social mob, jadi para figur publik, pebisnis, politisi, dan lain-lain yang tindakannya tidak sesuai dengan moral, harus siap menerima sanksi sosial dari masyarakat, di sini maksudnya netizen,” ungkap pengamat dan aktivis media sosial, Enda Nasution saat berbincang Uzone.id.
Ia melanjutkan, “bahasanya memang ‘cancel’, tapi dampaknya seperti punishment gitu. Bisa berupa memberhentikan program, membuat individu dipecat. Mirip seperti boikot.”
Baca juga: Deretan Artis Populer yang Jadi Korban Cancel Culture Netizen
Dengan kata lain, menurutnya cancel culture ini merupakan metode baru di mana “orang biasa” atau masyarakat umum secara bersama-sama speak up terhadap mereka yang memiliki power lebih banyak, mereka yang lebih populer, bahwa perbuatan mereka itu salah secara moral dan sosial.
Enda merasa dengan munculnya cancel culture ini, netizen merasa memiliki ruang untuk menyuarakan pendapat mereka.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat yang sangat memperhatikan isu LGBTQ dan rasisme, masyarakatnya sudah semakin terbuka matanya dalam memperhatikan ucapan-ucapan ofensif dari orang-orang yang memiliki power lebih. Entah itu komedian ternama, influencer, politisi, hingga selebriti.
“Di AS itu orang-orang yang dianggap homophobic, transphobic, bakal disorot banget. Dulu mungkin orang belum se-aware sekarang, jadi kalau bercanda bisa asal ceplos. Kalau sekarang bercandaan yang ofensif dibiarkan dan dianggap biasa, nanti muncul normalisasi. Mungkin cancel culture dianggap berfaedah untuk efek jera seperti ini, ya,” ucap Enda.
Namun di sisi lain, saking lantangnya suara-suara netizen ini bisa membuat cancel culture ini jadi terkesan ‘gampangan’ dan membuat figur publik jadi takut untuk berbicara.
“Menurut saya dampak negatifnya itu bisa mengikis kebebasan berekspresi dan menumbuhkan kultur main hakim sendiri jika dilakukan secara berlebihan tanpa social check,” katanya.
Cancel culture di Indonesia, beneran ada?
Satu hal yang unik dari karakteristik netizen di Indonesia bisa dilihat dari kebiasaan yang sudah-sudah. Netizen Indonesia biasanya paling terdepan dalam menanggapi masalah orang lain, khususnya figur publik.
Netizen negeri ini tidak akan ragu untuk melontarkan kritik hingga hujatan di platform media sosial. Seakan-akan nyalinya setinggi langit ke-tujuh.
Apakah modal tersebut sudah cukup untuk menjalankan cancel culture di Indonesia? Tampaknya, nggak juga.
“Menurut gue, cancel culture di Indonesia tuh nggak ada. Orang Indonesia tuh pemaaf dan pelupa,” tutur influencer dan YouTuber Putu Reza saat dihubungi Uzone.id secara terpisah.
Ia melanjutkan, “kalau ada tokoh siapa gitu hiatus sebentar, lalu comeback, orang juga udah lupa. Jadi cancel culture-nya gak serius seperti di Hollywood dan Korea. Gue belum pernah lihat di Indonesia yang di-cancel lalu benar-benar works.”
Hal senada juga disampaikan Enda. Ia juga merasa kalau netizen di Indonesia memiliki sifat pemaaf dan pelupa.
“Memang bedanya di situ, tingkat keseriusannya masih berbeda dari negara lain. Indonesia itu punya forgetting dan forgiving culture,” imbuh Enda.
Baca juga: Apa Bedanya Cancel Culture yang Jangkit Netizen AS, Korea dan Indonesia?
Lalu, Indonesia kental dengan bully aja?
Ini pertanyaan yang juga menarik sebenarnya. Jika cancel culture hanya omongan belaka dan nihil eksekusi, berarti secara tidak langsung mental netizen di Indonesia hanya sebatas bullying saja.
Hal ini kadang didasari dari pola pikir bahwa figur publik sudah tak punya privasi sama sekali, sehingga apapun yang ada di diri mereka adalah konsumsi publik.
“Padahal seharusnya, figur publik ya tetap harus punya ruang privasi, tapi sayangnya masih banyak yang percaya kalau orang terkenal itu sudah tak lagi punya privasi. Menurut saya, jangan sampai kita punya mob mentality. Orang menghujat, jadi ikut menghujat. Harus rajin cek dakta, jangan langsung percaya kalau ada yang spill rumor,” ungkap Enda.
Mau bagaimanapun, media sosial mengandung konsekuensi bagi penggunanya sebagai watchdog, alias bagai jutaan pasang mata yang mengamati perilaku manusia di dalamnya.
Dengan jumlah netizen yang begitu banyak, dari sinilah yang melahirkan suara yang bisa menjadi penjaja secara bersama-sama.
“Netizen selalu merasa punya power untuk memberhentikan karier orang lain, namun tetap ya, jangan sampai kebablasan. Sebisa mungkin adil saja, dan yang di-cancel itu lebih untuk perbuatannya. Kalau sampai mematikan profesi individu tersebut, menurut saya pastikan dulu secara matang apakah itu pantas atau tidak,” tutupnya.