Review: Detak Jantung Berdegup Kencang Gara-gara Neil Armstrong di ‘First Man’
-
Uzone.id -- Selama ini mengenal sosok bernama Neil Armstrong sebatas dari buku, tulisan atau karya ilmiah, dan video-video bersejarah yang kerap memotretnya sebagai pahlawan, khususnya bagi eksplorasi antariksa. Melalui ‘First Man’, penonton disuguhkan pengalaman bak roller coaster dari hidup seorang Armstrong.
Film biopik ‘First Man’ akhirnya tayang di Indonesia. Disutradarai Damien Chazelle yang dikenal lewat film-film berbasis musik seperti ‘Whiplash’ dan ‘La La Land’, karya barunya ini sangat berbeda dari dua film bikinan sebelumnya.Chazelle ‘banting setir’ dari film serba musik ke genre drama, petualangan, dan action. Melalui ‘First Man’, sutradara usia 33 tahun itu menyoroti kehidupan Armstrong menjelang dirinya dipilih oleh NASA sebagai komandan Apollo 11, misi paling berbahaya dengan target mengirim awak manusia ke Bulan untuk pertama kalinya.
Baca juga: 5 Hal Keren tentang 'First Man', Baca Dulu Sebelum Nonton!
Semua tahu, Amerika dulu begitu terobsesi untuk menerbangkan manusia ke Bulan, selain untuk eksplorasi, namun juga untuk gengsi. Amerika dan Uni Soviet memang saling berlomba agar menjadi yang terbaik di industri keantariksaan. Ditambah dukungan Presiden John F. Kennedy, pihak NASA semakin gencar untuk mewujudkan mimpi ke Bulan.
Diperankan oleh Ryan Gosling, karakter Armstrong sangat memikat sejak awal film dimulai. Dia digambarkan begitu apik menjalankan peran sebagai pilot pesawat antariksa yang memiliki setumpuk rintangan. Di sisi lain, Armstrong juga menghadapi rintangan personal yang berasal dari keluarganya. Anak perempuannya, Karen sedang sakit dan akhirnya meninggal. Secara emosi, Armstrong pun rapuh.
Nggak pernah membicarakan Karen sama sekali kepada sang istri, Janet Shearon (Claire Foy), Armstrong pun nggak mau kelamaan bersedih untuk kematian Karen. Maka, dia menyibukan diri dan fokus di pekerjaannya. Dia mengikuti seleksi astronaut untuk misi Gemini.
Hubungan Armstrong dengan anggota keluarganya pun lambat laun terasa semakin jauh lantaran dirinya terpilih untuk menjadi komandan misi Gemini sebagai awalan untuk misi Bulan sesungguhnya, yakni Apollo 11.
Saking detailnya, mampu membawa nuansa klaustrofobia
Sutradara Chazelle begitu detail dalam merancang tiap adegan yang membutuhkan action nyata. Dari Armstrong memasuki ruangan kokpit sempit dengan posisi duduk namun tiduran, seberapa cepat pesawat antariksa meluncur ke luar atmosfer Bumi, hingga teror di ruang mikrogravitasi.
‘First Man’ seakan sengaja mengambil close-up untuk 80 persen adegan sepanjang film, khususnya ketika para awak astronaut berada di dalam pesawat antariksa.
Kamera kerap menyorot ekspresi dan mimik wajah para aktor, sehingga penonton secara jelas dapat turut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh mereka selama proses peluncuran menuju luar angkasa.
Saking dekatnya pengambilan gambar para karakter dengan detail kejadian yang terasa nyata, ‘First Man’ sanggup menyuguhkan petualangan menegangkan, bikin cemas, dan… sesak karena suasana sempit di ruang kokpit. Dengan kata lain, nuansa klaustrofobia di sini sangat kental -- kurang lebih mirip ‘Gravity’ namun tidak 100 persen sama.
Chazelle seakan paham betul, kisah eksplorasi antariksa perlu disampaikan secara menyeluruh, sehingga salah satu caranya adalah membuat penonton ikut-ikutan tegang dengan detak jantung super cepat gara-gara aksi Armstrong, terutama saat dia mengendalikan pesawat Gemini.
Memanusiakan Armstrong
Detail lain yang patut dikagumi adalah dua jenis karakter signifikan dari seorang Armstrong: tangguh di antariksa, rapuh di Bumi.
Kita dapat menyaksikan dengan jelas bagaimana sosok Armstrong digambarkan setiap dia menjalankan misi antariksa yang sulit ditebak dan dapat membunuhnya sewaktu-waktu. Dia adalah pilot dan komandan super jago nan tangguh, mengerti kalkulasi sains yang dapat memengaruhi tiap keputusan yang diambil, sampai pengetahuan tentang mengemudikan wahana antariksa.
Namun, sisi emosionalnya bisa berubah jika sedang berada di Bumi. Armstrong tetap manusia biasa yang memiliki kesedihan mendalam karena kehilangan orang dicintai, trauma, serta ketakutan yang timbul dari tragedi misi antariksa yang menimpa orang-orang terdekatnya.
Belum lagi kepercayaan dirinya saat ditunjuk menjadi komandan Apollo 11, dia terlihat begitu nerimo, mengaku senang, namun raut wajahnya berkata lain. Dia tahu, itu adalah tanggung jawabnya sebagai astronaut, dia tahu betul akan menjadi bagian dari sejarah, dan sadar tentang besar kemungkinan dirinya bakal tewas di tengah perjalanan.
Gilanya lagi, Armstrong tidak bisa mengeluarkan semua perasaan itu di rumahnya sendiri. Akting Gosling sebagai Armstrong layak diacungi empat jempol.
Klimaks tanpa suara
Satu hal yang menarik dari ‘First Man’ dan praktis membuatnya tidak akan dilupakan adalah, momentum klimaks yang dikemas dengan sederhana namun megah.
Film-film Chazelle biasanya mengandung unsur musik ikonis dan lagu-lagu orisinal yang bikin candu. Karena dia ‘banting setir’ ke genre drama dengan bumbu sejarah, Chazelle kembali merangkul komposer Justin Hurwitz untuk meracik score musik yang mampu menciptakan ambiens yang ngena.
Tidak seikonis bikinan Hans Zimmer untuk ‘Interstellar’ atau score ‘Gravity’ karya Steven Price, Hurwitz tetap mampu membangun suasana segar di sejumlah adegan krusial.
Nah, yang membaut gue deg-degan banget adalah ini pertama kalinya Chazelle menyihir gue ke dalam nuansa petualangan berbau heroik dengan kesunyian. Tanpa suara.
Semua berkat momentum tepat waktu untuk membangun emosi dan klimaks yang ditunggu-tunggu sejak awal, yakni menginjakkan kaki di Bulan. Bisa-bisanya ‘First Man’ membuat detak jantung nyaris terdengar karena absennya suara sejak pintu pesawat Eagle dibuka di atas permukaan Bulan.
Sekali lagi, klimaks yang dibangun 'First Man' sangatlah tepat waktu, efektif, dan buat haru.
“That’s one small step for a man, one giant leap for mankind,” ujar Armstrong, manusia pertama yang menginjakkan kaki di Bulan.