Home
/
Film
Review: Nonton ‘Solo: A Star Wars Story’ Berasa Nyasar di Tengah Laut
-
Hani Nur Fajrina24 May 2018
Bagikan :
Spoiler-free.
Uzone.id - Bagi yang pernah snorkeling di tengah laut, rasanya seru ‘kan? Loncat dari kapal yang membawa kalian ke tengah laut, kalau memang takut biasanya pakai pelampung. Yang penting bisa merasakan terapung di laut biru.
Tapi pernah nggak kebayang, amit-amit sih ini, kalian bangun tidur lalu tiba-tiba sudah berada di tengah laut, sendirian, nggak ada kapal. Berasa nyasar, nggak tahu harus apa, dan pahit-pahitnya berharap ada ombak besar yang bakal membawamu ke tepi pantai agar selamat.
Perasaan ‘aneh’ itu nyaris mirip yang gue rasakan ketika gue nonton ‘Solo: A Star Wars Movie’. Bukan perkara gue ini die-hard fan saga ‘Star Wars’ atau bukan, tapi semua menyoal kepada alur cerita secara keseluruhan.
Film spin-off ini memang berbeda dari kisah ‘Star Wars’ yang telah kita tonton. Segala sesuatunya terasa foreign, alias asing. Nggak cuma soal pemerannya, tapi juga latar dan pokok permasalahan.
Secara garis besar ‘Solo’ menceritakan karakter Han (Alden Ehrenreich) yang terpisah dari perempuan yang dia cintai, Qi’ra (Emilia Clarke) saat berupaya keluar dari planet asalnya, Corellia yang berisi penyelundup.
Han yang masih muda itu pengin hidup bebas tanpa ada yang mengatur, lalu bermimpi bisa punya uang banyak, membeli pesawat sendiri, dan keliling galaksi. Wow, gue juga mau...
Tiga tahun kemudian, di tengah upayanya berjuang jadi pilot Imperial tapi gagal, dia bertemu sejumlah orang yang kemudian menjadi tim kecilnya, plus makhluk Wookiee bernama Chewbacca serta penjudi nyentrik Lando Calrissian (Donald Glover). Han masih bersikeras mewujudkan mimpinya itu dan berniat kembali ke Corellia untuk menyelamatkan Qi’ra.
Lalu, apa hubungannya nonton ‘Solo’ yang settingannya berada di luar angkasa, dengan gue yang berasa terombang-ambing sendirian di tengah laut? Oke, gue jabarkan ya alasannya.
Pertama, dari awal sudah disajikan masalah, tapi nggak bikin tergugah.
Jadi begini, untuk film yang dibuka dengan langsung masuk ke masalah itu sudah biasa. Malah, dapat membuat segalanya terasa to the point.
‘Solo’ dibuka dengan langsung memberi masalah yang menerpa Han. Entah kurang ada daya magis dari segi alur atau dialog, dari awal belum bikin gue tergugah sama sekali. Belum lagi sinematografi yang sendu, gelap, dan serba biru...
Sudah gue disajikan oleh adegan pembuka yang asing banget, bisa langsung berasa lagi berada di tengah laut antah-berantah, lalu gue menunggu ada percikan semacam ombak yang pelan-pelan bisa mendorong gue sedikit maju. Tapi, ‘ombak’ itu nggak datang-datang.
Kedua, plot sebenarnya nggak njelimet, tapi lama banget!
Sekuel ini pakai teknik alur maju tanpa ada flashback, Ron Howard sang sutradara paling nggak berhasil membuat plot film ini nggak bikin pusing. Semuanya dibikin sejelas mungkin, tapi... gue menderita karena semua terasa lama.
Ada beberapa adegan di mana Han dan tim kecilnya itu berusaha mencuri barang di gerbong kereta. Mungkin Howard ingin menampilkan pembangunan karakter, seperti Han yang nggak gampang menyerah serta tak lupa sentuhan komedi ringan (yang lagi-lagi nggak nendang). Sayangnya, di adegan yang harusnya bisa membangun mood seperti ini, malah terasa cukup datar dan lamban.
Makin terombang-ambing tanpa tujuan aja gue.
Ketiga, screenplay biasa aja, tapi terima kasih telah memilih Ehrenreich dan Glover.
Di poin yang telah gue jabarkan, gue sudah sebutkan kalau dialog hingga komedi yang disuguhkan nggak terlalu berhasil membangun mood nonton.
Meski screenplay yang ditulis oleh Johanthan dan Lawrence Kasdan ini terbilang ‘yaudah’, gue harus akui Howard sanggup mengarahkan Han yang terlihat cinta mati dengan Qi’ra.
Selain itu, gesture lain dari aktor Ehrenreich membuatnya nggak gagal menjadi seorang Han Solo. Ehrenreich seakan nggak perlu berusaha terlalu keras membuat penonton percaya bahwa dia adalah ‘Harrison Ford’ versi Han Solo.
kehadiran karakter Lando juga menyelamatkan kebosanan gue. Glover berhasil membawakan lakon Lando yang menarik dengan gesture yang memorable.
Kehadiran Lando yang secara instan membuat film ini sedikit lebih berwarna (secara suasana dan tone warna sinematografi) langsung menciptakan percikan ‘ombak’ bagi gue yang kala itu berasa lagi kesasar di tengah laut. Gue langsung bergerak maju, berharap tak lama lagi menemukan titik terang dari semua permasalahan ini.
Terakhir, terima kasih juga telah menyediakan plot twist dan sedikit kejutan, meski adegan akhir terasa anti-klimaks.
‘Solo’ menyajikan plot twist yang cukup bikin melek. Gara-gara twist ini, masing-masing karakter mulai terasa menarik karena kompleksitas mereka baru terlihat begitu jelas.
Karenanya, twist ini lumayan memberikan percikan ‘ombak’ lainnya buat gue untuk segera menepi dari kebosanan sejak awal.
Selain itu, ada pula kejutan yang hadir dari karakter lawas ‘Star Wars’ yang lumayan membuat kaget. Paling nggak, kejutan ini turut membantu gue mencapai titik terang dari perasaan terombang-ambing yang daritadi menyiksa. Akhirnya, selesai juga penderitaan ini meskipun anti-klimaks.
Tapi ya sudahlah, yang penting gue bisa survive dari ancaman nyasar selama 2 jam 15 menit.
Secara keseluruhan, aspek yang membuat gue ‘terapung’ lama dari rasa bosan adalah alur cerita dan komedi yang nggak terlalu menggelitik.
Yang jelas, karakter Lando patut diapresiasi karena berhasil menjadi pemanis. Sisanya, karakter sentral yakni Han sendiri mutlak sebagai daya magis.
Sponsored
Review
Related Article