Home
/
Health

Kerja di Atas 55 Jam Seminggu, Awas Diincar Penyakit Ini

Kerja di Atas 55 Jam Seminggu, Awas Diincar Penyakit Ini

Dythia Novianty22 July 2017
Bagikan :

Suara.com - Kerja berlebihan bisa membuat seseorang kelelahan. Bahkan, studi terkini menemukan bahwa karyawan yang kerja lebih dari 55 jam seminggu, berisiko tinggi mengembangkan detak jantung tak teratur atau juga dikenal sebagai fibrilasi atrium.

Dalam sebuah penelitian terhadap 85.500 lelaki dan perempuan paruh baya di Inggris, Denmark dan Swedia, peneliti menemukan bahwa memeras tubuh untuk bekerja di atas 55 jam seminggu, dikaitkan dengan peningkatan risiko fibrilasi atrium sebesar 40 persen sepuluh tahun mendatang.

"Temuan ini menunjukkan bahwa jam kerja yang panjang dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan irama jantung. Kondisi ini bisa memicu stroke pada pekerja," ujar peneliti utama Mika Kivimaki.

Selain stroke, jika gangguan irama jantung ini tidak terkontro,l maka bisa melemahkan jantung hingga memicu gagal jantung. Untuk mendapatkan temuan ini, Kivimaki dan rekan peneliti lainnya memisahkan semua peserta dalam beberapa kelompok sesuai jam kerja yang dihabiskannya dalam seminggu.

Ada kelompok pekerja yang memiliki jam kerja kurang dari 35 jam seminggu; 35 sampai 40 jam; 41 sampai 48 jam; 49 sampai 54 jam; dan kelompok yang menghabiskan jam kerja lebih dari 55 jam.

Mereka yang bekerja 35 sampai 40 jam seminggu digunakan sebagai kelompok pembanding. Di awal penelitian, tidak satu pun peserta penelitian yang ditemukan memiliki gangguan irama jantung. Selama masa tindak lanjut 10 tahun, ada 1.061 kasus baru, menurut temuan yang dipublikasikan di European Heart Journal ini.

"Sembilan dari sepuluh kasus gangguan irama jantung terjadi pada orang-orang yang bebas dari riwayat penyakit kardiovaskular sebelumnya," kata Kivimaki.

"Ini menunjukkan bahwa peningkatan risiko cenderung mencerminkan efek jam kerja yang panjang lebih memicu gangguan irama jantung daripada efek dari penyakit kardiovaskular yang ada sebelumnya atau bersamaan, namun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami mekanisme yang terlibat," pungkas dia.

Preview

 

Berita Terkait:

populerRelated Article