Siapa Bilang Perusahaan ‘Tua’ Bakal Mati Ditelan Kemajuan Teknologi?
Ilustrasi foto: Headway/Unsplash
Uzone.id – Kemajuan teknologi seakan menjadi faktor besar bagi lahirnya ekosistem startup digital yang menggaet perhatian publik. Tak sedikit muncul anggapan kalau perusahaan rintisan yang bergerak serba cepat ini mampu mengalahkan perusahaan besar yang sudah terlampau tua.
Nyatanya, anggapan tersebut tak melulu benar. Kunci dari segala kunci agar terus hidup mengikuti perkembangan zaman adalah beradaptasi dengan teknologi itu sendiri. Transformasi digital pun tak hanya menjadi jargon belaka, namun menjelma pula menjadi realita.Uniknya, aspek yang mengalami transformasi ini bukan perkara pengembangan dan inovasi produk saja, tapi juga bagaimana memuaskan pelanggan dengan cara yang lebih kekinian melalui peningkatan customer experience.
“Teknologi yang terus berkembang seperti sekarang ini harus bisa menjadi enabler bagi pelaku usaha, baik skala UMKM hingga perusahaan besar. Sikap adaptif terhadap kemajuan teknologi itu mendorong kita semua untuk membangun lebih banyak ide, bahkan ide tersebut bisa datang dari pelanggan. Tak heran jika customer experience di zaman digital itu penting,” tutur DEVP CX & Digitization Telkom, Sri Safitri dalam ajang CX Summit 2021 yang digelar Telkom Indonesia, Kamis (9/12).
Jika kita melihat pemain UMKM baru, proses digitalisasinya dapat dilakukan secara praktis dan bertahap karena ia lahir di era teknologi yang memang sudah berkembang. Lain halnya dengan perusahaan-perusahaan tua yang sudah berdiri dari beberapa dekade lalu – bahkan ada yang beda abad sekalipun.
CEO PT Pos Finansial Indonesia, Setyo Budianto mengisahkan bagaimana BUMN tertua di Tanah Air, yakni PT Pos, akhirnya tergerak untuk benar-benar mengikuti arah perkembangan teknologi, beradaptasi, dan bertahan hidup hingga hari ini.
Baca juga: CX Summit 2021, Telkom Pacu Customer Experience Digital untuk Pelaku Usaha
“Bayangkan saja, PT Pos itu sudah berdiri sejak 1746, pada zaman Belanda. Keberadaannya di Indonesia begitu panjang, kala itu masih menjadi perusahaan yang menjamin keamanan surat-surat penduduk, khususnya bagi mereka yang datang dari kantor di luar Pulau Jawa, atau mereka yang ingin pergi ke Belanda,” ungkap Setyo dalam kesempatan yang sama.
Ia melanjutkan, “banyak hal yang dilakukan untuk survive di era teknologi, lengkap dengan berbagai disrupsi di sektor ekonomi hingga bisnis kurir.”
Seiring berjalannya waktu, PT Pos pernah mencicipi berbagai bisnis baru, seperti layanan wesel pos instan dan masuk ke ranah perbankan. Setelah mengalami naik turun, akhirnya PT Pos mendirikan anak usaha, yaitu PT Pos Finansial Indonesia (Posfin) pada 2001.
“Peluang kehadiran teknologi itu langsung diadaptasi oleh PT Pos melalui kehadiran Posfin ini, dengan mengambil celah bisnis di ranah pembayaran secara digital. Jadi bisa dibilang kami merupakan produk inovasi dari perusahaan yang sangat tua, dengan melihat potensi di sektor keuangan berbalut teknologi digital agar dapat bersaing dan relevan dengan konsumen,” imbuhnya lagi.
Hal yang sama juga menimpa perusahaan besar Blue Bird. Praktisnya, siapa yang tidak tahu Blue Bird? Armada berupa taksi dengan warna biru khasnya lalu-lalang di jalan raya dan mudah ditemukan oleh masyarakat. Konsumennya pun sangat luas.
Sebesar-besarnya Blue Bird, perusahaan transportasi ini juga harus menelan perkembangan teknologi yang telah menjangkau industrinya. Bahkan, disadari atau tidak, fokus Blue Bird tak hanya dua arah antara perusahaan dan pelanggan, namun ada ‘perantara’, yakni pengemudi.
“Perusahaan ini sudah berdiri selama 49 tahun. Logo kami yang begitu ikonis, memiliki arti burung pembawa kebahagiaan. Kepada siapa kebahagiaan ini patut dirasakan? Seluruh pelanggan, karyawan, dan pengemudi tentunya. Menjaga konsistensi dan kesuksesan yang berkesinambungan itu nyatanya tidak bisa dibangun dalam semalam,” kata President Commissioner PT Blue Bird Tbk, Noni Purnomo di tempat yang sama.
Proses adaptasi terhadap perkembangan teknologi ini, diakui Noni, dimulai dari jenis infrastruktur yang dibutuhkan, kemudian perusahaan melihat dan mengidentifikasi berbagai bagian yang perlu ditingkatkan.
Dengan kata lain, Blue Bird mengaku selalu melakukan mapping agar tahu apakah layanannya sudah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Menurut noni, perubahan-perubahan yang terjadi sifatnya sangat cepat dan memang perlu adaptasi yang juga cepat.
“Ada tiga pilar yang kami upayakan agar customer experience kami dapat memaksimalkan pertumbuhan perusahaan di tengah kemajuan teknologi, yaitu multichannel, multi-payment, dan multi-product,” terangnya.
Soal multichannel yang dimaksud, Blue Bird memberikan tiga varian. Menurut Noni, masih banyak pelanggan yang membutuhkan offline channel, seperti memanggil atau memberhentikan taksi secara langsung dari pinggir jalan.
Baca juga: Telkomcel Bantu UMKM Timor Leste dengan MyLoja
“Tidak usah aplikasi intinya, ini buat orang-orang yang memang masih suka experience langsung memanggil. Lalu, berikutnya online channel, ini sudah kami wujudkan melalui aplikasi My Bluebird Taxi,” sambung Noni.
Sejauh ini, pihak Blue Bird, diakui Noni, kerap mengembangkan aplikasi mobile tersebut sesuai kebutuhan pelanggan, mulai dari input akomodasi, hingga opsi penentuan harga, apakah ingin sesuai argo atau fixed price.
Keunggulan dan preferensi seperti ini, menurutnya, dapat diterapkan melalui online channel.
“Yang ketiga, cara konvensional, yang artinya masih ada orang-orang yang suka berbicara langsung dengan operator manusia melalui panggilan telepon call center. Ini tetap kita hadirkan karena demand dan experience yang masih dicari dan kita ingin memenuhi ini. Jadi, adaptasi yang kami lakukan itu tidak langsung menghapus cara-cara lawas dan gegabah menggantinya serba digital. Tapi kami melakukan pengembangan layanan dengan melihat apa yang dibutuhkan,” tutur Noni.
Poin kedua adalah multi-payment. Blue Bird juga melakukan transformasi digital dalam aspek pemilihan cara pembayaran kepada para pelanggan. Zaman semakin digital, Blue Bird mengakui opsi cashless sifatnya penting. Maka, di dalam layanannya, pelanggan dapat melakukan pembayaran tunai, cashless berupa kartu debit atau kredit, dan online payment.
Kemudian sebagai poin ketiga, multi-product yang dimaksud Noni adalah tipe produk yang disajikan Blue Bird sesuai kebutuhan pelanggan.
“Di waktu-waktu tertentu, pelanggan membutuhkan layanan transportasi berbeda-beda. Ada regular taxi untuk keseharian, ada juga executive taxi, limousine, dan juga bus. Ini semua bisa dipilih sesuai kebutuhan dan keinginan agar experience-nya lebih terasa,” lanjutnya.
Sebagai perusahaan ‘tua’, Blue Bird kian berupaya untuk terus merangkul aspek kepuasan pelanggan melalui pengalaman, tak lupa diseimbangkan dengan pelatihan para pengemudi berupa paparan soal teknologi, serta peningkatan kualitas kerja para karyawannya.
“Kami memiliki value-value yang tertanam sejak 49 tahun lalu, kami ingin pelanggan tetap merasakan ini yang diselaraskan dengan inovasi layanan kami. Sebagaimana logo kami, burung pembawa kebahagiaan, kami terus konsisten fokus membawa kebahagiaan itu kepada karyawan, pengemudi, dan pelanggan agar mereka merasa dirangkul sebagai keluarga besar,” tutup Noni.