Siapa Joe Rogan? Dulu Host ‘Fear Factor’, Sekarang Bikin Spotify Diboikot
Foto: JEFF BOTTARI/ZUFFA LLC
Uzone.id – Siapa yang baru dengar serial podcast ‘The Joe Experience’ sejak Spotify diboikot musisi dan sebagian pengguna? Lalu, ketika mencari tahu seperti apa bentukan sosok Joe Rogan, rasanya ingin berucap, “kok kayak kenal, ya?”
Generasi milenial yang masa ABG-nya mengenal acara TV bernama ‘Fear Factor’ yang populer di tahun 2000an, pasti ingat betul betapa mengerikannya tiap tantangan yang harus dilewati para kontestan. Biasanya tantangan mengerikan dan seringkali juga menjijikan ini ada di tahap kedua.Kita bisa menyaksikan bagaimana para peserta itu tersiksa, tapi juga rela melakukan apapun demi mengantongi duit USD50 ribu. Kalau sekarang sih, hadiah segitu setara Rp716 juta. Mungkin dulu jauh lebih bernilai.
‘Fear Factor’ yang cukup ikonis ini tak lepas dari peran sang host yang begitu tegar melihat pesertanya menghadapi rintangan aneh-aneh. Kadang ingin juga berujar, “enak banget sih nge-host doang, cobain tuh tantangannya sekali-sekali biar paham.”
Ternyata oh ternyata, ia adalah Joe Rogan.
Rogan di masa muda, rambut masih lebat dan hitam pekat. Kini ia mulai menua, tampilan botak, namun tetap tampak kekar.
Berbekal kepiawaiannya dalam memandu acara sengit ‘Fear Factor’, tak heran dirinya begitu luwes membawakan programnya sendiri, ‘The Joe Rogan Experience’ dan mampu menghadirkan deretan bintang ternama hingga tokoh politik di podcastnya.
Tak cuma bintang terkenal, tapi juga orang-orang penting dan kontroversial. Ia mengaku, ia suka mengobrol dan membahas banyak hal yang tak melulu satu pemikiran dengannya.
Baca juga: Dicecar Misinformasi, Joe Rogan Bela Diri Soal Podcastnya
Mungkin karena kegemarannya itu, ia sampai tak ragu untuk mengundang dokter bernama Robert Malone yang ternyata anti-vaksin dan kerap melontarkan pernyataan radikal soal pandemi.
Lagi-lagi mungkin berbekal pengalaman tahunannya di ‘Fear Factor’, Rogan tak merasa ‘takut’ atau was-was membahas konspirasi Covid-19 dengan Malone, tanpa memikirkan betapa banyaknya audiens podcastnya yang mendengar.
Mungkin Rogan sudah memiliki tingkat kepercayaan diri yang begitu matang bahwa semua audiensnya adalah orang pintar dan tahu bagaimana cara menyaring informasi.
“Saya ingin mendengar perspektif dari orang-orang yang pemikirannya berbeda dari saya. Justru saya tidak mau hanya berbincang dengan orang-orang yang hanya punya satu pemikiran. Saya pikir ini yang membuat acara [podcast] saya menarik,” ujar Rogan di video klarifikasinya usai podcastnya itu menuai kritik.
Selain ‘Fear Factor’, Rogan juga dikenal sebagai komentator acara ‘Ultimate Fighting Championship’ di awal 2000an.
Besar di dunia televisi, mungkin ia hijrah ke jejak digital karena merasa platform digital adalah masa depan. Ia membuat brandnya sendiri melalui ‘Joe Rogan Experience’ pada 2009.
Baca juga: Kenapa Spotify 'Legowo' Diboikot Gara-gara Podcast Joe Rogan?
Podcastnya pun mendadak naik daun pada 2018 ketika ia berhasil mewawancarai Elon Musk sebagai CEO Tesla. Kala itu, ia dan Musk berbincang secara live sampai 2,5 jam sembari menyeruput whiskey dan menghisap ganja.
Merasa punya banyak potensi, Rogan menandatangani lisensi eksklusif di Spotify sebesar USD100 juta atau setara Rp1,4 triliun untuk podcastnya. Kerja sama ini sampai didapuk menjadi salah satu akuisisi terbesar yang pernah ada di ranah podcast.
Terlepas dari kesuksesannya, nama Rogan kini mencuat karena kontroversi podcastnya sendiri.
Bersama Malone, mereka membahas konspirasi Covid-19, khususnya keraguan terhadap vaksin, sampai menyebut ivermectin sebagai obat penyembuhan Covid-19.
Rogan yang mengaku dirinya bukan anti-vaksin, bahkan bilang ia percaya kalau anak-anak muda yang terbiasa olahraga dan makan makanan sehat tidak perlu vaksinasi.
Tak heran jika podcast episode ini menuai kritik pedas, tak hanya ke dirinya, tapi juga Spotify sebagai platform yang dianggap tidak melakukan aksi apapun – baik itu sensor ataupun menurunkan podcast.
Tapi hingga hari ini, Spotify masih terlihat ‘berpihak’ pada Rogan dan menerima fakta bahwa banyak musisi yang memboikotnya.