Sudah Seminggu Tayang, ‘Aruna dan Lidahnya’ Tetap Bikin Perut Keroncongan
-
Uzone.id -- Tentang film satu ini, daya tariknya sangatlah mudah ditemukan. Apalagi kalau bukan terletak di empat pemainnya: Dian Sastrowardoyo, Oka Antara, Nicholas Saputra, dan Hannah Al Rashid.
Sudah sepekan film garapan Edwin ini tayang di bioskop. Gue punya pengakuan dosa, gue termasuk telat nonton karena sejak pekan lalu lumayan sibuk dengan pekerjaan dan kehidupan lainnya. Jadi, gue baru menyempatkan diri nonton hari ini bersama teman gue yang sudah nonton sebelumnya.Ternyata oh, ternyata… Gue sadar betul bahwa film ini akan menyajikan berbagai macam makanan, tapi kok nggak nyangka akan sekejam ini. Ngiler banget, gusti!
‘Aruna dan Lidahnya’ yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Laksmi Pamuntjak ini bercerita tentang Aruna (Dian Sastro) yang pergi ke sejumlah kota di Indonesia untuk meneliti wabah flu burung. Ditemani dua temannya, Bono (Nicholas Saputra) dan Nad (Hannah Al Rashid), ketiganya juga berniat untuk kulineran. Dalam perjalanannya, Aruna bertemu dengan Farish (Oka Antara) yang dulunya ditaksir dan harus melakukan investigasi flu burung bareng.
Film ini secara sederhana mengemas drama percintaan dengan sajian kuliner yang begitu menarik dengan bumbu humor. Semuanya terasa seimbang dan tentu saja yang menjadi sorotan utama adalah sisi kulinernya. Maknyusss!
Gimana nggak coba, di awal film saja sudah disajikan sop buntut yang dimasak dan siap disantap oleh Aruna. Pengambilan gambar yang nggak kebanyakan gimmick menghasilkan rasa ngiler yang otentik kepada penonton -- khususnya gue. Dan ini nggak cuma terjadi di sop buntut saja.
Seiring berjalannya film yang memang berlatar di kota Surabaya, Pamekasan (Madura), Pontianak, dan Singkawang, film ini diwarnai oleh banyak dialog ringan namun dalam dan dinamika hubungan di persahabatan dan perasaan baper-baperan gitu.
Senang rasanya bisa melihat Dian Sastro bisa disandingkan dengan Nicholas Saputra sebagai sahabat, bukan pasangan. Ada sensasi baru di chemistry keduanya. Belum lagi soal dialog yang mengisi tiap adegan, semuanya terasa nyata dan relatable -- entah itu ngobrol soal pekerjaan, sampai relasi antara makanan dengan kehidupan. Hal ini menjadi khas Edwin sebagai sutradara yang mampu meracik tiap adegan begitu raw dan nyata.
Oh iya, selain melakoni karakter Aruna, Dian Sastro juga berperan sebagai narator. Tapi bukan narator seperti film-film Woody Allen yang murni narator suara doang. Di sela adegan, Dian Sastro sebagai Aruna beberapa kali berbicara menatap ke kamera untuk berbicara langsung ke audiens. Konsep ini tentu unik dan membuat ‘Aruna dan Lidahnya’ tidak membosankan.
Sekarang, mari bahas soal perut keroncongan. Please, film ini kejam bagi penonton yang nonton di jam nanggung seperti gue. Tadi gue nonton di jam 14.20 WIB. Kebayang, nggak? Itu jam di mana perut gue sudah diisi makanan sekitar jam 13.00 WIB ditambah ngemil-ngemil. Jadi, ketika masuk studio bioskop, gue sudah memantapkan diri gue untuk nggak membeli makanan apa-apa karena nggak terlalu lapar.
Nggak tahunya… sial. Selain sop buntut yang menjadi hidangan pembuka film, gue sudah cukup tersiksa dengan sajian rawon asal Surabaya, campur lorjuk ketika mereka di Pamekasan, pengkang dan mie-mie sedap di Pontianak, serta tak lupa choi pan yang tampak begitu gurih dan hangat yang mereka santap di Singkawang.
Selain memperkenalkan kuliner lokal tanah air, film ini benar-benar membuat penonton ikut terhanyut di dalam perjalanan mereka. Ikutan lapar, lebih tepatnya. Jangankan makanan tradisional, lihat Nicholas Saputra bikin nasi goreng tek tek aja gue ngiler!
Gue pikir lapar mata, nggak tahunya pas gue tanya teman gue yang sudah nonton, dia pun menjawab, “gila sih, masih aja bikin keroncongan!”
Oke, sekian review singkatnya. Gue mau pesan nasi goreng dulu.