Super Junior & Gelombang Kebudayaan Populer Korea di Dunia
-
Hallyu Wave alias demam Korea bukanlah semata soal grup-grup idola yang dibentuk demi tujuan keuntungan dan popularitas. Ada isu kekuasaan lunak di sini. Budaya Korea menyebar ke seluruh dunia lewat produk kebudayaan populer seperti K-Pop.
SM Entertainment adalah perusahaan hiburan pertama yang menjadi cikal bakal menyebarnya Hallyu Wave ke seluruh dunia. Lee Soo-man, seorang solois, DJ, dan pembawa acara TV yang kariernya moncer di Korea pada tahun 70-an adalah orang di belakang pembentukan SM. Ia mulai mengorbitkan artis secara kecil-kecilan di tahun 1989, saat itu, SM Entertainment masih dinamai SM Studio.
Hyun Jin-young adalah penyanyi dan penari hip-hop pertama yang sukses ia sokong. Namun, saat sedang berada di puncak kesuksesan, Jin-young malah tersangkut kasus narkoba. Dari sinilah Lee belajar pentingnya kontrol penuh terhadap para artisnya. Ia pun mulai membuat kontrak kerja dan panduan dalam mendidik calon idola. Bagi Lee, idola bukan dilahirkan, melainkan diciptakan.
Trainee (calon idola yang melalui pendidikan di agensi) SM diajarkan berbagai pelajaran untuk menjadi idola, termasuk menyanyi, koreografi, kemampuan berbahasa, citra diri, hingga menata visualisasi dan tampilan fisik. Semuanya ditata dalam satu buku panduan dengan jadwal dan pengawasan ketat. Hanya yang cerdas dan kuat yang mampu bertahan dan berhasil lahir sebagai bintang.
Lalu, pada 1995, Lee mengubah SM Studio menjadi SM Entertainment, menelurkan boy group H.O.T di tahun berikutnya, girl group SES, dan boy group Shinhwa berturut-turut. Konsep pembentukan mereka diduga mencontek trio Seo Taiji and Boys yang tampil pada tahun 1992 di kompetisi musik televisi Korea. Dari sinilah tonggak kebangkitan industri musik Korea berasal dan K-Pop mulai menyebar.
Kepopuleran K-Pop berjalan beriringan dengan makin banyaknya SM meluncurkan idola-idola baru, sampai kemudian lahirlah Super Junior (Suju) pada 2015. SM habis-habisan mencari bibit idola hingga ke negeri Cina, melakukan audisi dan bertaruh terhadap penerimaan publik. Saat itu, cara SM menemukan calon artis dengan melakukan audisi ke luar negeri tergolong baru. Apalagi merekrut anggota dari luar kebangsaan Korea. Hasilnya gemilang; cara yang digunakan Lee ternyata berhasil.
Super Junior mendapat dianugerahi sebagai Ikon Budaya Pop Nasional atas peran menyebarkan Hallyu Wave serta menerima Minister of Culture Awards dari Menteri Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata Korea di Pop Culture Art Awards. Tiket-tiket konser mereka selalu ludes, kumpulan pria dengan setelan necis dan citra romantis itu dielu-elukan gadis-gadis di seluruh dunia.
“Polisi hampir tidak bisa mengendalikan ribuan gadis yang berteriak-teriak agar bisa melihat salah satu boy band paling terkenal di dunia,” demikian CNN menggambarkan kericuhan antrian tiket konser Suju di Shanghai pada tahun 2010.
Mengembangkan Pasar
Dekade itu, saat Suju bersinar setelah mengeluarkan single "Sorry, Sorry" pada tahun 2009-2010, CNN sampai menyebut Korsel sebagai "Hollywood-nya Timur". Istilah itu merujuk pada bisnis hiburan yang digemari jutaan penggemar di seluruh dunia. Album ini langsung menjadi hit dan SM Entertainment lewat boy group andalannya itu berhasil mengekspansi tangga lagu di Thailand, Tiongkok, dan Filipina, setelah sebelumnya menaklukkan Jepang bersama TVXQ dan BoA.
Bagi agensi hiburan di Korea, Jepang menjadi target ekspansi pertama sebelum mereka memutuskan melebarkan sayap ke wilayah lain. Penelitian Dinara Kozhakhmetova pada 2012 yang berjudul "Soft Power of Korean Popular Culture in Japan" menyebut kondisi itu terkait sejarah panjang Korsel dan Jepang. Mereka melanjutkan medan pertempuran dengan bersaing di industri pop.
Jepang sempat menduduki Korsel selama 36 tahun, sejak 1910 hingga 1945. Setelah masa kolonialisme itu berakhir, pemerintah Korsel membuat kebijakan untuk mengamankan budaya mereka dengan melarang impor budaya populer Jepang, termasuk pertunjukan teater, televisi, siaran radio, publikasi, dan musik pop.
Mereka khawatir budaya Jepang melunturkan tradisi dan budaya-budaya lokal mereka. Sebab saat pendudukan, Jepang sempat memaksakan pendidikan bahasa Jepang kepada rakyat Korsel.
“Larangan ini dicabut pada 1998 dengan penandatanganan deklarasi tentang Kemitraan Korea-Jepang abad ke-21,” tulis Kozhakhmetova.
Kini, setelah berkarier selama lebih dari 13 tahun, para personel Suju telah menginjak usia 30 tahunan. Usia yang dipercaya sebagian penggemar K-Pop sebagai waktu yang riskan. Mereka harus bersaing dengan grup idola baru yang lebih muda dan enerjik. Mereka harus menyesuaikan diri dengan pangsa pasar, memodifikasi musik serta citra yang dibawakan agar lebih relevan dengan zaman dan Suju menyadari hal itu.
“Kami akan menjangkau penggemar yang berbeda dengan proyek yang beda pula. Tak ada rencana berhenti dalam waktu dekat,” tegas pimpinan Suju, Leeteuk (Park Jeong-su) kepada Forbes.
Gebrakan baru dibuktikan Suju lewat single "Lo Siento" yang mereka garap bersama musisi latin Leslie Grace dan DJ Play-N-Skillz. Lagu tersebut dibawakan dalam tiga bahasa: Korea, Inggris, serta Spanyol, dan langsung berhasil mendarat di nomor 13 di Billboard’s Latin Digital Song Sales Chart. "Lo Siento" sekaligus membuka seri konser Suju yang berfokus di Amerika Latin, seperti Argentina, Peru, Chili, dan Meksiko.
Suju membuktikan, dengan umur yang semakin matang, mereka tetap diidolakan. Begitulah mereka bersama KARD memimpin industri musik Korea ke perbatasan terbarunya: Amerika Latin.
Baca juga artikel terkait K-POP atau tulisan menarik lainnya Aditya Widya Putri