Home
/
News

Tragedi Cikini: Kala Sukarno Selamat dari Ledakan Granat

Tragedi Cikini: Kala Sukarno Selamat dari Ledakan Granat

Kolumnis: 30 November 2018
Bagikan :

Sekolah Rakjat Tjikini atau Perguruan Cikini (Percik) tampak meriah pada sore hari menjelang malam tanggal 30 November 1957, tepat hari ini 61 tahun lalu. Alunan musik dan berbagai hiasan serta penyinaran yang terang-benderang membuat suasana semakin menyenangkan. Rupanya, ada perayaan hari jadi Perguruan Cikini yang ke-15.

Jumat petang itu, Guntur memperoleh tugas menjaga wahana permainan yang tersedia dalam acara tersebut. Sedangkan adik perempuannya, Megawati, bertugas sebagai penjaga pameran. Putra dan putri kesayangan Presiden Sukarno ini memang bersekolah di Perguruan Cikini.

Kemeriahan kian membuncah kala terdengar sirine dari kejauhan. Iring-iringan sepeda motor dan mobil polisi, serta beberapa jip yang ditumpangi para pengawal presiden memasuki halaman sekolah. Bung Karno tiba dengan mengendarai mobil Chrysler Crown Imperial “Indonesia I”.

Sukarno hadir bukan hanya sebagai orangtua Guntur dan Megawati, juga atas undangan khusus dari Kepala Perguruan Cikini, Sumadji Muhammad Sulaimani, dan Direktur Percetakan Gunung Sari, Johan Sirie, yang bertindak sebagai penyelenggara.

Kehadiran sang proklamator langsung disambut sumringah oleh para peserta, terutama murid-murid sekolah. Mereka berebut mendekat untuk menyambut kehadiran Presiden Pertama RI tersebut.

Hujan Granat di Cikini

Usai acara, Bung Karno bersiap meninggalkan lokasi. Di sepanjang jalan dari halaman sekolah, warga telah berjubel menanti rombongan presiden lewat. Tiba-tiba, terdengar ledakan hebat yang rupanya berasal dari lemparan granat yang diarahkan ke halaman sekolah. Tidak cuma sekali, tapi beberapa kali letusan itu menggelegar.

Orang-orang tergeletak, situasi sontak panik. Malam bahagia itu berubah menjadi malam petaka. Tujuh orang tewas di tempat, yakni dua polisi pengawal presiden, dua wanita, dua anak-anak, dan satu laki-laki dewasa. Dua orang lainnya meninggal dunia di rumah sakit. Total, ada sembilan orang yang harus kehilangan nyawa akibat insiden itu.

Sedangkan korban luka-luka hampir mencapai 100 orang, baik luka berat atau ringan, termasuk puluhan murid dan Direktur Perguruan Cikini, Sumadji Muhammad Sulaimani, yang mengalami luka parah.

Beruntung, Sukarno dan anak-anaknya selamat. Hanya saja, mobil kepresidenan menjadi korban. Mobil mewah keluaran tahun 1954 hadiah dari Raja Arab Saudi itu ringsek lantaran menahan ledakan granat.

Murka Bung Karno meledak. Dengan segera, presiden memerintahkan pengejaran terhadap para pelaku pelemparan granat, juga penyelidikan terkait aktor intelektual di balik upaya percobaan pembunuhan terhadap kepala pemerintahan itu.


Kurang dari 24 jam, kinerja aparat dan intelijen negara membuahkan hasil. Diungkapkan dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964 Jilid 2 (1980), ada empat pemuda yang ditangkap dan diduga sebagai pelaku aksi teror itu, masing-masing bernama Jusuf Ismail, Sa’idon bin Muhammad, Tasrif bin Husein, dan Moh. Tasin bin Abubakar (hlm. 120).

Dalam penyelidikan terungkap bahwa keempat orang ini adalah penghuni Asrama Sumbawa yang juga berlokasi di kawasan Cikini dan merupakan aktivis Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII).

Menurut kesaksian Megawati, dikutip dari artikel berjudul “Mega Kenang Granat Cikini yang Sasar Bung Karno 60 Tahun Lalu” karya Golda Eksa, dua dari empat pelaku itu, yakni Sa’idon dan Tasrif, adalah guru yang sudah dicuci otaknya.

Megawati masih mengingat tragedi di sekolahnya itu. “Peristiwa itu tidak akan pernah terlupakan. Korbannya dari kawan-kawan saya saja ada 100 orang, baik yang meninggal dunia, luka parah, maupun luka ringan. Beberapa bahkan cacat seumur hidup,” sebutnya.

Rencana Tak Berjalan Mulus

Sukarno menganggap aksi pelemparan granat di Perguruan Cikini itu merupakan upaya percobaan pembunuhan terhadap presiden yang dilakukan orang-orang yang tidak puas dengan kondisi politik serta tidak suka kepadanya. Meskipun begitu, apa sebenarnya alasan yang mendasari tindakan berbahaya tersebut masih simpang-siur.

Penyidik mencurigai bahwa percobaan pembunuhan itu sudah direncanakan cukup lama karena dilakukan orang-orang yang cukup terlatih. Arifin Suryo Nugroho dalam Tragedi Cikini, Percobaan Pembunuhan Presiden Soekarno (2013), memaparkan, para eksekutor dilatih terlebih dulu tentang bagaimana seharusnya menggunakan granat untuk menamatkan riwayat Presiden Sukarno.


Sebelum menjalankan aksinya, demikian diberitakan Suara Merdeka edisi 5 Desember 1957, para pelaku membaur dengan masyarakat yang berjejer di pinggir jalan untuk menyaksikan rombongan presiden pulang dari sekolah.

Rencana yang cukup matang pun telah disusun. Lemparan granat pertama dimaksudkan untuk memantik kepanikan dan mencegah presiden masuk ke dalam gedung. Bung Karno diperkirakan menuju ke mobil untuk berlindung.

Setelah itu, granat kedua dilemparkan di sekitar mobil kepresidenan diparkir dengan sasaran melenyapkan para pengawal. Berikutnya, disiapkan granat ketiga dan keempat yang memang bakal diarahkan kepada Sukarno. Diprediksi, setelah ledakan pertama dan kedua, presiden akan masuk ke dalam mobil atau berlindung di sekitar mobil.

Namun, para pelaku ternyata salah perhitungan. Bung Karno tidak menuju ke mobilnya usai ledakan pertama. Presiden diselamatkan para pengawal yang mengarahkannya ke seberang jalan untuk berlindung di salah satu rumah. Maka, selamatlah presiden dari siasat pembunuhan itu.

Simpang-Siur Aktor Intelektual

Tragedi pelemparan granat di Perguruan Cikini itu diduga kuat bukan aksi teror biasa, melainkan didalangi aktor intelektual dengan tujuan menyingkirkan Sukarno dari kursi kepresidenan, dengan cara membunuhnya.

Zulkifli Lubis, mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang juga pernah menjabat Kepala Intelijen Negara, sempat dicurigai sebagai otak insiden itu.

Zulkifli beberapa kali tidak sepaham dengan Bung Karno, terutama karena presiden dianggap cukup dekat dengan orang-orang komunis. Zulkifli adalah anggota Gerakan Anti Komunis (GAK) dan nantinya bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang oleh Sukarno dianggap sebagai pemberontak.


Persidangan terkait tragedi Cikini ini mulai digelar pada 15 Agustus 1958. Di persidangan, tulis Audrey R. Kahin dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2005), salah seorang terdakwa sempat menyebut bahwa Zulkifli Lubis adalah guru utamanya.

Bahkan, tertuduh mengakui bahwa mereka sebelumnya telah menyusun beberapa kali percobaan untuk menghabisi Sukarno, juga melakukan pelemparan granat ke kantor Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Persatuan Buruh, serta upaya pembunuhan terhadap beberapa petinggi militer, termasuk Abdul Haris Nasution.

Akan tetapi, beberapa kalangan meragukan pengakuan yang diungkapkan dalam persidangan itu. Kelihatannya, tulis Kahin, banyak dari pengakuan ini yang telah dipersiapkan oleh pemerintah (hlm. 318).

Infografik Mozaik Tragedi Cikini
Preview


Zulkifli sendiri selalu menolak bertanggungjawab atas terjadinya serangan Cikini yang menyasar Sukarno meskipun ia mengakui terlibat dalam beberapa serangan sebelumnya. Menurut Zulkifli, peristiwa itu kemungkinan besar hanya merupakan aksi spontan karena para pelaku melihat kesempatan untuk berbuat sesuatu terhadap presiden sewaktu mengunjungi Perguruan Cikini.

Pada akhirnya, Zulkifli memang lolos dari tuduhan lantaran Jusuf Ismail, salah satu pelaku, mengakui bahwa aksi pelemparan granat itu merupakan gagasannya. Jusuf tercetus untuk menghabisi Sukarno setelah melihat mobil presiden di Perguruan Cikini pada 30 November 1957 itu.

Beberapa waktu berselang, Zulkifli terlibat dalam aksi PRRI di Sumatera Barat kendati kemudian mendapat pengampunan dari Presiden Sukarno pada Oktober 1961. Namun, dikutip dari buku Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965 (2006) karya Rosihan Anwar, Zulkifli kembali ditangkap. Anehnya, kali ini ia justru dicokok dengan tuduhan keterlibatannya dalam peristiwa Cikini 1957.

Meskipun demikian, Zulkifli Lubis sekali lagi terlepas dari hukuman berat dan hidup lama hingga bertahun-tahun ke depan. Namun, tidak demikian halnya dengan keempat terdakwa pelaku pelemparan granat di Cikini. Mereka menjalani eksekusi mati di hadapan regu tembak pada 28 Mei 1960.
Baca juga artikel terkait PERISTIWA CIKINI atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya

populerRelated Article