Home
/
Lifestyle

Tumbangnya Lee Cooper di Indonesia

Tumbangnya Lee Cooper di Indonesia

Kolumnis: 01 September 2019
Bagikan :

Malam itu, suasanya gerai Lee Cooper yang berhiaskan tembok bata dan terletak di lantai Upper Ground (UG) di sebuah mal di Jakarta Selatan tampak lengang. Gerai itu merupakan satu dari tujuh gerai Lee Cooper yang tersebar di seluruh Indonesia.

"Toko Lee Cooper di Jakarta udah enggak ada lagi. Cuma tinggal yang ini. Lainnya ada di Bekasi, Bandung, Surabaya, Makassar, Pekanbaru dan Balikpapan. Dari 107, sekarang hanya tinggal tujuh toko," jelas seorang pramuniaga di toko Lee Cooper tersebut kepada Tirto.

Tidak tampak seorang pembeli pun mendekati gerai Lee Cooper  tersebut kala itu. Tapi, kunjungan Tirto yang hanya sekali dan di malam hari tentu tidak dapat menggambarkan betapa beratnya persaingan bisnis merebut konsumen yang tengah dialami oleh toko ritel saat ini.

"Sejak ritel berguguran dan e-commerce marak, toko fisik akhirnya banyak yang ditutup dan karyawan pun banyak yang diputus hubungan kerja. Memang persaingan bisnis ritel udah berat dan harga sewa yang pakai standar dolar AS juga memberatkan bisnis," lanjut pria ramah tersebut kepada Tirto.


Terbelit Pailit

Produk denim asal Inggris ini berdiri sejak 1908. Di Indonesia, merujuk pada pemberitaan Detik, produk Lee Cooper telah beredar di pasar Indonesia sejak 1990

Saat ini, produsen berbagai produk denim yang cukup terkenal di Indonesia dan dunia ini tengah terjerat sengketa utang di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Lee Cooper Indonesia diajukan untuk menjalani proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh dua pihak, masing-masing PT Inovasi Informasi Indonesia dan Yuni Erika Sucipto.

Perkara ini terdaftar dengan nomor 163/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN Niaga Jkt.Pst, sejak akhir Juli lalu. Dalam petitumnya, Lee Cooper Indonesia dinyatakan belum menunaikan utang yang telah jatuh tempo kepada para pemohon.

"Menyatakan termohon PKPU (PT Lee Cooper Indonesia) memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada Pemohon PKPU sebesar Rp77,5 juta dan utang lain kepada kreditur lain, Rudi Hartono sebesar Rp46,3 juta," tulis petitum para pemohon seperti dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Para pemohon perkara juga meminta Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat agar menetapkan Lee Cooper Indonesia menjalani masa PKPU Sementara (PKPU-S) selama 45 hari sejak putusan diucapkan. 


Ketatnya Persaingan Bisnis Pakaian Jadi

Rontoknya bisnis merek ternama Lee Cooper di Indonesia berbanding terbalik dengan pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang triwulan II/2019 yang naik sebesar 3,62 persen secara tahunan. Kenaikan ini utamanya didorong oleh naiknya produksi industri pakaian jadi sebesar 25,79 persen

Rentang tiga bulanan, industri pakaian jadi periode triwulan II juga mengalami kenaikan 185 persen dibanding kuartal I/2019 (). Industri pakaian jadi menjadi jenis industri manufaktur yang mengalami kenaikan tertinggi sepanjang kuartal II-2019 ().

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut, Lana Soelistianingsih Ekonom Universitas Indonesia (UI) mengatakan bahwa industri pakaian jadi dan tekstil tidak lagi disebut sebagai sunset industry atau industri yang pertumbuhannya tipis dan cenderung menurun. Dengan demikian, perkara pailit Lee Cooper, lanjut Lana, terjadi karena persaingan bisnis.

"Karena kalau bicara Lee Cooper, kita bicara harga. Masyarakat Indonesia sangat sensitif terhadap harga. Kalau harga merek itu mahal, masyarakat tidak keberatan untuk tidak menggunakan merek itu dan bisa mengganti dengan merek lain selama sama-sama denim atau jeans. Terlebih sekarang, dengan ramainya e-commerce, banyak yang menawarkan pakaian yang lebih murah dan terjangkau," jelas Lana kepada Tirto.

Suramnya bisnis Lee Cooper sebagai produsen denim ternama di Indonesia seolah menjadi indikasi bahwa mereka tersebut memang kesulitan untuk bisa bersaing dengan produk sandang berbahan denim lain yang harganya sangat murah. Di sisi lain, hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tidak keberatan menggunakan denim dari merek kurang terkenal, selama harganya terjangkau.

"Bicara pakaian, masyarakat Indonesia tidak ada yang fanatik dengan merek tertentu kecuali yang tingkat ekonominya menengah atas," sebut Lana. "Bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah bawah, tidak ada fanatisme terhadap merek mahal. Sehingga dari sisi daya saing, tidak sanggup bersaing dari sisi harga dan tren yang cepat berkembang."

Infografik Industri tekstil dan produksi tekstil 2017
Preview
Business Analyst Inventure Farid Fatahillah menjelaskan, terdapat tiga faktor penyebab mengapa jenama besar seperti Lee Cooper tumbang. Pertama adalah faktor persaingan bisnis dengan peritel yang memiliki strategi marketing agresif seperti Uniqlo.

Menurut Farid, sebagai salah satu merek ritel, Uniqlo cukup agresif dengan konsep flash ritel yang mereka usung. Uniqlo juga sering mengadakan diskon yang cukup menggiurkan. 

"Flash ritel ini juga mendorong cepatnya pergantian produk, sehingga barang tidak menumpuk dan mendorong tingginya penjualan. Selain itu, penawaran harga yang cukup kompetitif dan terjangkau," sebut Farid kepada Tirto. "Uniqlo pintar menangkap peluang pasar dengan memberikan promo yang berlaku singkat. Kalau tidak langsung beli saat itu juga, bisa jadi besok penawarannya tidak ada lagi."

Selain itu, berbagai kolaborasi yang dilakukan Uniqlo, menurut Farid, menjadikan jenama tersebut unik dan dianggap lebih mewakili cita rasa anak muda. Farid mengatakan, kolaborasi dan flash ritel yang dilakukan mereka asal Jepang tersebut merupakan strategi pemasaran yang cukup signifikan untuk dongkrak pasar.

Faktor kedua matinya jenama besar adalah ketatnya persaingan dengan merek lokal. Menurut Farid, merek denim lokal memiliki pangsa pasar tersendiri dan cenderung memiliki penggemar fanatik. Bagi anak muda indie, menggunakan authentic brand atau merek dengan produksi terbatas (niche product), memiliki kebanggaan tersendiri.

Berdasarkan penelusuran Tirto, terdapat merek denim lokal yang bahkan telah merambah pasar internasional, seperti Oldblue Co, AYE! Denim & Co., Pot Meets Pop, Elhaus, dan juga Mischief Denim.


Faktor ketiga, sebut Farid, adalah keberadaan e-commerce yang perlahan menggerus penjualan konvensional. Masyarakat mulai menggemari tren belanja dengan menjentikkan jari melalui smartphone tanpa harus keluar rumah. Konsumen milenial yang dibidik oleh Lee Cooper sebagai pangsa pasar, telah mengalami perubahan perilaku termasuk dalam hal belanja.

Preferensi generasi milenial saat ini telah berubah di mana nyaris seluruh hal dilakukan secara daring. Meski Lee Cooper turut memasarkan produk melaui market place maupun situs web, namun menurut Farid langkah tersebut sedikit terlambat.

"Bagi anak muda milenial, Lee Cooper dianggap sudah tidak unik lagi karena gagal untuk mengantisipasi dan me-rejuvinasi atau meremajakan brand. Sehingga, merek Lee Cooper indetik sebagai brand kalangan generasi tua. Dengan harga jual yang bersaing, brand lokal lebih disukai oleh anak muda milenial karena unik dan bagus, juga didukung dengan event-event yang cukup ramai seperti local fest dan sebagainya," sebut Farid.

Dalam jurnal berjudul "The Characterization of the Millennials and Their Buying Behavior" disebutkan bahwa generasi milenial tidak loyal terhadap merek tertentu. Gaya konsumsi generasi milenial tidak diwakili oleh kategori merek yang sama dengan generasi-generasi sebelumnya yang secara sadar dilabeli oleh merek tertentu. Perkembangan teknologi, sementara itu, dapat membimbing generasi milenial menuju pada tren baru dalam pembelian barang konsumsi.

"Oleh karena itu, sangat penting bagi jenama-jenama untuk memahami ekosistem digital dari target pasar mereka," tulis Flor Madrigal Moreno, dkk dalam jurnal yang diterbitkan Canadian Center of Science and Education tersebut.
Baca juga artikel terkait INDUSTRI TEKSTIL atau tulisan menarik lainnya Dea Chadiza Syafina

populerRelated Article