Wiji Thukul, Yang Tak Pulang dan Tak Pergi
“Bapak moleh (pulang) kapan?” adalah salah satu dialog di adegan pembuka film Istirahatlah Kata-kata. Bocah yang bersandar di pelukan ibunya itu, yang ditanya, tak nampak jelas di layar.
Ayah yang dimaksud interogator adalah Wiji Thukul. Sosok yang diburu rezim Orde Baru karena keterlibatannya di Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan aksi-aksi demonstrasi menentang penindasan penguasa.Kamera hanya menyorot wajah sang interogator (polisi), yang mengunyah kue nagasari sambil menyemburkan tanya. Sang bocah dan ibunya tak bersuara walau sepatah kata. Layar kemudian menampilkan narasi; Pontianak, 1996.
Dari adegan pembuka yang minus musik, terlihat film ini mencoba 'berpuisi'. Tak salah memang. Istirahatlah Kata-kata merupakan judul puisi sang penyair-aktivis itu. Puisi ini digubah Thukul pada 1988.
istirahatlah kata-kata
jangan menyembur-nyembur
orang-orang bisu
kembalilah ke dalam rahim
segala tangis dan kebusukan
dalam sunyi yang mengiris
tempat orang-orang mengingkari
menahan ucapannya sendiri
Film ini berkisah tentang Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) yang melarikan diri ke Pontianak, Kalimantan Barat usai kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta. Pelarian lelaki cadel yang tak bisa mengucapkan huruf 'r' itu direkam dalam balut paranoia, ketakutan, juga kesepian.
Berpindah dari satu tempat ke tempat lain selama berbulan-bulan. Tiap suara yang terdengar di balik kamar adalah sumber keresahan. Kerik jangkrik, raung knalpot motor, hingga kersak rerumputan selalu mengundang cemas.
Thukul harus mengintip dari sudut tirai, berjibaku dengan insomnia, dan menghindari mereka yang tak dikenal. Sebuah ketakutan yang menurutnya di luar nalar. Padahal ia sosok pemberani, terdepan dalam tiap demonstrasi menentang represifnya rezim.
"Ternyata jadi buron itu jauh lebih menakutkan daripada menghadapi sekompi 'kacang ijo' bersenapan lengkap yang membubarkan demonstrasi," ia berujar.
Teror sunyi lebih menggerogoti jiwanya ketimbang salak senapan. Ekspresi itu begitu lekat di wajah, mimik, gerak dan diamnya si aktor. “Rezim ini bangsat, bangsat, bangsat!” gerutunya.
Hidup dalam persembunyian memang menyesakkan. Segala gerak terbatas. Kecurigaan pada orang lain meruyak hebat. Sang 'buron' harus selalu memastikan adanya jalan keluar lain di tiap tempat yang ia singgahi.
Setelah itu, cerita pun bergulir. Perpindahan adegan dari satu ke lainnya berlangsung cepat dengan dialog yang minim. Pengambilan gambar yang kebanyakan dari satu sudut meletihkan mata menatap layar.
Teori dasar wide, medium, closed up nampaknya tak terlalu berlaku di film yang cenderung ‘dokumenter’ ketimbang ‘komersial’ ini. Padahal jika memainkan kamera dengan semua teori itu, keindahan naskah film ini bakal menemukan ‘jodohnya’.
Jadi tak perlu menegasikan diri pada sebuah genre. Penonton butuh sudut pandang lain dalam melihat sesuatu. Tak melulu dijejali selera sutradara.
Musik pengiring yang muncul hanya sesekali menciptakan keheningan di dalam bioskop. Namun, humor-humor getir yang spontan muncul menghidupkan ‘kebisuan’ Istirahatlah Kata-kata.
Satu adegan menarik dalam film ini ketika Paul alias Thukul dan Martin (Eduwart Boan) menikmati tuak di sebuah kedai, di pinggir Sungai Kapuas. Dialog diselingi humor dalam scene ini begitu hidup.
Aksi berbalas kata antara Paul dan Martin juga Thomas (Dhafi Yunan) yang hadir tak berapa lama kemudian, membuat penonton bergairah. Kata-kata ‘kimak’, serapah ala Medan yang kerap diucapkan Martin, benar-benar menyentak. Riuh tawa penonton pun bergema di ruang teater.
Apalagi ketika Paul mendapat inspirasi mencipta puisi usai buang hajat di sungai. Sebuah puisi tentang kemerdekaan.
Kemerdekaan itu nasi
dimakan jadi tai.
Sayang scene yang lumayan lama ini hanya dibidik dari jauh, menggunakan satu kamera. Yosep Anggi Noen—sutradara sekaligus penulis naskah—nampak kurang berani mengeksplorasi lebih dalam. Cukup disayangkan, adegan yang seharusnya bisa diambil dari beragam angle ini malah berkutat pada satu titik.
Adegan lain yang seyogianya mendapatkan ‘porsi’ lebih adalah pertemuan Sipon (Marissa Anita) dengan suaminya di sebuah hotel di Solo. Anggi nampaknya gagal menciptakan klimaks yang ditunggu-tunggu penonton.
Pertemuan suami-istri yang telah berpisah sekian lama terkesan datar, hambar. Tak ada peluk cium, apalagi ucapan bernada kerinduan. Pertemuan ‘akbar’ ini tak ubahnya pertemuan ‘kawula-tuan’ yang rigid. Mungkin pembuat film berupaya mendramatisasi adegan ini dengan cara seefisien dan seefektif mungkin, namun kurang ‘nendang’.
Walau berdasarkan kisah nyata, improvisasi dialog tak diharamkan demi menunjang runtutnya cerita. Dialog yang mengalir dari mulut para aktor akan memudahkan penonton mencerna apa yang mereka lihat. Apalagi bagi mereka yang belum mengetahui sosok Wiji Thukul.
Cerita visual tetap membutuhkan kata-kata, tak melulu obral gambar. Di sini, Anggi sepertinya terlalu banyak berhitung. Akhirnya, usai pertemuan Thukul-Sipon yang diakhiri pemenuhan hasrat manusiawi mereka, adegan selanjutnya tak terlalu menonjol.
“Aku tak ingin kau pulang. Aku juga tak ingin kau pergi. Aku hanya ingin kau ada,” adalah kata-kata terakhir Sipon untuk Thukul. Seolah menegasikan nasib mereka di kemudian hari.
Di dalam rumah, ketika Thukul pergi ke belakang usai memberikan segelas air pada Sipon yang menangis, seperti maklumat bahwa film akan berhenti. Hal ini nampak dari gambar yang menunjukkan wanita itu larut dalam isak panjang. Yang terus disorot kamera.
Artikulasi tak jelas dari mulut Fajar Merah (putra Wiji Thukul) yang melagukan Bunga dan Tembok dengan suara melengking, mengiringi berakhirnya film. Sebuah ending yang manis dan menghentak. Suara serak Fajar seolah merasuk dalam sosok Sipon yang membisu.
Walau begitu, Istirahatlah Kata-kata berhasil menampilkan ketakutan Wiji Thukul dalam pelarian dan keresahan Sipon dalam penantian.
Riset mendalam yang dilakukan tim produksi layak mendapatkan apresiasi tinggi. Tak heran jika film ini masuk nominasi sejumlah festival internasional di luar negeri.
Yosep Anggi Noen berhasil merekonstruki perjalanan hidup Thukul di persembunyian, genap dengan paranoia yang dihadapinya. Bakat pria kelahiran 1983 ini ia nampak jelas. Kepiawaiannya sebagai komandan di belakang layar patut diperhitungkan.
Beasiswa dari Asian Film Academy (AFA) Busan IFF 2007 dan pelatihan di Berlin IFF Talents Campus 2013 adalah bekal yang cukup baginya untuk kian berkiprah di dunia sinema Tanah Air.
Gunawan Maryanto mampu menjiwai sosok Wiji Thukul—dalam kata, gerak, hingga suaranya yang cadel. Atas aktingnya ini, ia layak diganjar Piala Citra.
Marissa Anita yang berperan sebagai Sipon juga bermain apik. Walau minim komunikasi verbal, ia berhasil mengekspresikan keresahan sang istri yang ditinggal suminya yang buron.
***
Widji Thukul yang bernama asli Widji Widodo lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Agustus 1963. Mulai menulis puisi sejak SD, Thukul tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP.
Ia kerap ‘ngamen’ puisi dari kampung ke kampung bersama kelompok Teater Jagat. Lelaki ceking ini juga menyambung hidup dengan berjualan koran, menjadi calo karcis bioskop, dan tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel.
Pada Oktober 1989, Thukul menikah dengan Siti Dyah Sujirah alias Sipon yang saat itu berprofesi sebagai buruh. Pasangan ini dikaruniai dua anak; Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah.
Thukul dinyatakan hilang sejak 27 Juli 1998. Tak jelas apakah ia masih hidup atau mati berkalang tanah. Misteri yang belum jua terungkap hingga kini.
'Harapan' Sipon sepertinya tercapai. Thukul tak pulang, tak juga pergi. Ia ada, tapi entah di mana.
tidurlah kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan
nanti kita akan mengucapkan
bersama tindakan
bikin perhitungan
tak bisa lagi ditahan-tahan.*